(Sabila Rosyida)

Berbagai usaha dilakukan berbagai pihak demi mengurangi laju perubahan iklim. Setiap pihak, baik itu pemerintah, perusahaan, maupun perorangan mempunyai caranya masing-masing. Di masyarakat, misalnya, istilah gaya hidup berkelanjutan, sustainable living, sedang ramai-ramainya digaungkan demi mengurangi dampak perubahan iklim yang terasa semakin nyata setiap harinya. 

Tingkat kesadaran masyarakat akan perubahan iklim dapat dikatakan meningkat. Gaya hidup sustainable living lantas dipertimbangkan. Namun, bersama dengan itu, hadir sebuah stigma atas gaya hidup sustainable living yang cenderung “mahal” dan “hanya untuk si kaya”. Benarkah begitu?

Mengenal Sustainable Living

Sebelum menguak stigma atas ketidakterjangkauan gaya hidup sustainable living, penting bagi kita untuk memahami makna di balik istilah itu sendiri. Jadi, apa itu sustainable living?

Sederhananya, sustainable living adalah metode untuk mengurangi jejak karbon seseorang dengan meminimalisir penggunaan sumber daya alam (SDA) secara berlebihan. Praktiknya dapat dilakukan sesederhana membawa tas belanja sendiri saat pergi ke pasar atau pusat perbelanjaan. Dengan begitu, kamu telah berpartisipasi dalam mengurangi emisi karbon yang dihasilkan untuk setiap plastik sekali pakai yang disediakan toko langgananmu. Sambil menyelam minum air, kamu juga berperan dalam mengurangi limbah sampah dari plastik sekali pakai. Selain itu sustainable living juga kerat dikaitkan dengan komitmen dan kebiasaan untuk menggunakan produk-produk yang berkelanjutan (sustainable product).

Sustainable living sering kali dikaitkan dengan zero-waste living. Kedua gaya hidup ini memang diinovasikan untuk tujuan yang sama, namun, zero-waste living lebih fokus pada pengurangan limbah sampah. Jika kamu pernah dengar green living dan eco-friendly living, konsep dari keduanya tak berbeda dari sustainable living

Mengapa Sustainable Living Mahal?

Jawabannya adalah karena produk-produk yang berkelanjutan  cenderung lebih mahal dibandingkan produk-produk konvensional. Dalam melaksanakan kegiatan produksi yang ramah lingkungan, sebuah perusahaan harus melakukan proses ekstra yang berdampak pada penambahan biaya operasional. Meskipun berbagai inovasi produk sustainable terus diciptakan, nggak banyak orang yang bersedia membayar lebih untuk sebuah produk yang bisa mereka dapatkan dengan harga lebih murah. Bukan berarti konsumen tidak peduli lingkungan, namun saat diposisikan untuk memilih, opsi menyelamatkan lingkungan hampir tidak pernah menang. 

Faktanya, sustainable living tidak sama dengan sustainable product. Di sinilah miskonsepsi publik mengenai gaya hidup berkelanjutan; bahwa mereka harus membeli produk-produk berlabel organik untuk menyelamatkan bumi. Padahal, untuk mempraktikkan sustainable living, kamu tidak perlu membeli apa pun. Sebaliknya, kamu hanya perlu memanfaatkan apa yang kamu punya. 

Penerapan Prinsip 3R pada Sustainable Living

Alih-alih membeli barang baru, kamu dapat mempraktikkan prinsip 3R dalam memulai gaya hidup berkelanjutan. 

  1. Reduce

Sebelum membeli barang yang kamu inginkan, tanyakan dirimu pertanyaan-pertanyaan ini:

  • Apakah saya membutuhkannya?
  • Apakah saya mempunyai barang seperti ini?
  • Apakah saya dapat memanfaatkan barang ini sepenuhnya?
  • Apakah ada alternatif lain untuk mendapatkan barang ini?
  • Apakah barang ini sesuai dengan budget saya?

Pertimbangan penting-tidaknya suatu barang akan membantumu dalam membuat keputusan yang lebih bijak. Terapkan konsep reduce pada setiap barang yang kamu konsumsi, mulai dari makanan, perawatan wajah, pakaian, hingga kendaraan. 

  1. Reuse

Konsep ini berlaku untuk barang yang kamu miliki atau barang yang dimiliki orang lain. Singkirkan barang sekali pakai dan beralihlah pada barang yang dapat dipakai berulang. Pastikan juga kamu dapat mengoptimalkan manfaat penggunaan barang tersebut, karena barang ramah lingkungan yang dibeli berulang kali dapat menciptakan emisi karbon yang jauh lebih tinggi ketimbang barang sekali pakai. Misalnya, jika kamu tidak menjamin dapat membawa sedotan stainless kemanapun kamu pergi, jangan membelinya sama sekali. 

Selain itu, kamu juga bisa membeli barang bekas. Industri pakaian bekas sedang naik daun akhir-akhir ini; kamu dapat menemukan barang-barang yang tidak hanya layak pakai, tapi juga unik, dengan harga yang jauh lebih murah. Kamu bisa menemukan barang-barang bekas dengan mudah baik secara online maupun offline

  1. Recycle

Untuk mencegah limbah sampah berakhir di TPA, lakukan proses daur ulang untuk barang-barang sekali pakai. Kamu bisa menciptakan berbagai barang cantik dari plastik, kertas, dan botol, seperti tikar, tas, dan vas bunga. Selain dapat digunakan kembali, barang-barang tersebut tentunya memiliki nilai jual. 

Kalau belum ada waktu untuk mendaur ulang, kamu bisa kirimkan sampahmu kepada tempat-tempat daur ulang. Untuk memudahkan tugas mereka, pastikan kamu memilah sampah sesuai jenisnya. 

Begitulah beberapa panduan sustainable living yang ramah budget. Yang perlu diingat, penerapan sustainable living tidak selalu se-estetik unggahan influencer di media sosial. Faktanya, sustainable living tidak perlu terlihat estetik dan mahal. Yang terpenting dari gaya hidup ini adalah menyelamatkan bumi, terlepas dari mahal-tidaknya jalan yang ditempuh konsumen untuk mencapai tujuan tersebut. 

Jadi, jangan ragu untuk menanam tanaman dalam botol air mineral atau menggunakan kotak es krim sebagai tempat bekal. Sebarkan ke media sosial, jika perlu, karena tujuan akhir dari sustainable living hanya dapat diwujudkan dengan partisipasi masyarakat luas. Kalau bukan kamu yang memulainya, siapa lagi?