(Sabila Rosyida)

Hi Sobat Atourin! Apakah kamu suka menonton film-film Indonesia? Jika ya, mungkin kamu tidak asing dengan film yang satu ini. The Mirror Never Lies atau Laut Bercermin merupakan film bergenre drama yang dirilis pada tahun 2011. Film yang berdurasi 1 jam 40 menit ini ditulis dan disutradarai oleh Kamila Andini dengan menggandeng Gita Novalista, Reza Rahadian, dan Atiqah Hasiholan sebagai pemeran utama.  

Alur cerita dalam The Mirror Never Lies berpusat pada penantian tokoh Pakis (Gita Novalista) akan ayahnya, seorang nelayan, yang tak kunjung kembali selepas berpamitan untuk mencari ikan. Pakis selalu membawa cermin pemberian ayahnya ke manapun ia pergi; dengan cermin itulah ia percaya bahwa ia dapat menemukan sang ayah. Tak jarang tingkah Pakis menciptakan konflik dengan Tayung (Atiqah Hasiholan); Tayung ingin sang anak merelakan kepergian ayahnya. 

Poster film The Mirror Never Lies

Berkat segala aspek produksi dan akting cemerlang para pemainnya, The Mirror Never Lies mendapatkan pujian dari banyak pihak. Bahkan, film ini dinominasikan dalam tujuh kategori berbeda pada Festival Film Indonesia 2011 dan tiga belas kategori berbeda pada Festival Film Bandung 2012. The Mirror Never Lies memenangkan empat penghargaan pada Festival Film Bandung 2012, termasuk penghargaan tertinggi Film Terpuji dan Sutradara Terpuji. 

Kesuksesan The Mirror Never Lies tidak bisa dilepaskan dari pemilihan latar dalam film ini, Sobat Atourin. Bekerja sama dengan WWF Indonesia dan Pemda Kabupaten Wakatobi, The Mirror Never Lies menyajikan kehidupan suku Bajo, mulai dari cara mereka bersosialisasi hingga berinteraksi dengan alam, dengan cara yang apik. Saat kamu menontonnya, kamu bisa mempelajari banyak nilai-nilai budaya suku Bajo tanpa merasa bosan. 

Jika Sobat Atourin sudah pernah menonton The Mirror Never Lies dan penasaran dengan arti nilai-nilai kebudayaan yang muncul dalam film tersebut, kamu datang ke tempat yang tepat, karena Atourin sudah merangkumnya untuk kamu. Tak masalah juga jika kamu belum nonton; siapa tahu, tulisan ini bisa membuat kamu terinspirasi. 

Pemakaian bedak pupur 

Sepanjang film, tokoh Tayung digambarkan hampir selalu menggunakan bedak pupur berwarna putih di wajahnya. Mulai dari menangkap ikan hingga berjualan, bedak pupur tersebut senantiasa menghiasi wajah Tayung di setiap kesehariannya. 

Ternyata, bedak pupur tersebut berfungsi sebagai tabir surya, lho, Sobat Atourin. Hal ini berfungsi sebagai pelindung kulit dari sengatan matahari, mengingat suku Bajo tinggal dan beraktivitas di tepi laut. Tak hanya itu, bedak pupur ini juga dipercaya mampu mengurangi jerawat dan biang keringat. 

Meracik bedak pupur ala suku Bajo ini susah-susah gampang, Sobat Atourin. Pertama, kamu perlu mencuci beras sampai bersih sebelum ditumbuk. Kamu bisa juga menambahkan daun mangkok dan kunyit, tapi biasanya, bedak pupur kuning hanya digunakan untuk aktivitas dalam rumah. Setelah ditumbuk sampai halus, racikan tersebut perlu dibentuk jadi bulatan, lalu dijemur hingga kering. Baru setelah itu, kamu bisa menggunakan bedak pupur dengan menambahkan sedikit air; persis seperti ketika kamu mengaplikasikan masker kecantikan. 

Kepercayaan kepada sandro

Dalam The Mirror Never Lies, Pakis beberapa kali mengunjungi sandro atau dukun untuk melihat nasib ayahnya yang hilang, meski usaha itu selalu gagal. Dalam membantu Pakis, sandro menggunakan segelas air putih, pedupaan, dan cermin. Untuk melihat bayangan sang ayah, sandro memutar cermin dengan bagian kaca menghadap ke bawah sehingga asap pedupaan mengenai kaca cermin tersebut. Bayangan sang ayah akan terlihat di cermin setelah asap pedupaan disimpan dalam gelas air putih yang telah dimantrai. 

Dari adegan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa sistem kepercayaan suku Bajo masih dipengaruhi oleh tradisi leluhurnya. Namun, seorang sandro tidak hanya berperan membantu masyarakat menemukan jawaban atas hal-hal di luar akal. Pada beberapa kesempatan, sandro berperan memberikan rekomendasi tanggal-tanggal untuk hari penting, membantu proses kelahiran, membantu pengobatan, hingga membantu proses sunatan. 

Kasuami sebagai pengganti nasi

Kasuami merupakan makanan khas Kabupaten Wakatobi. Bentuknya mengerucut seperti tumpeng. Bedanya, kasuami terbuat dari ubi kayu atau singkong yang dihaluskan dan dikukus. Warnanya makanan ini kuning kecoklatan dan teksturnya lembut. 

Ternyata, kasuami biasa dimakan masyarakat Sulawesi Tenggara sebagai pengganti nasi, Sobat Atourin. Bahkan, kasuami secara rutin dimunculkan dalam film The Mirror Never Lies, salah satunya saat Pakis dan Lumo (Eko) berpetualang dan membawa makanan tersebut sebagai bekal. 

Umumnya, sebuah kasuami dibuat dalam ukuran 500 – 700 gram atau lebih. Kisaran diameter dan tingginya 10 sentimeter. Untuk menghasilkan satu buah kasuami, dibutuhkan 2 – 3 batang singkong parut. Sebagai pengganti nasi, kasuami bisa dimakan bersama lauk-pauk. 

Sistem pengetahuan alam 

Suku Bajo mempunyai pengetahuan mumpuni seputar alam. Pengetahuan tersebut mereka manfaatkan untuk membuat berbagai macam teknologi yang dapat membantu mereka bertahan hidup. 

Ilustrasi sistem pengetahuan suku Bajo digambarkan dalam beberapa adegan dalam The Mirror Never Lies. Misalnya, penunjuk mata angin yang dibuat dari plastik pada sebilah bambu yang ditancapkan di tanah, mirip sebuah bendera. Selain itu, bulan purnama sebagai penanda banyaknya ikan di laut menjadi “aba-aba” bagi para nelayan untuk pergi melaut. Kehadiran lumba-lumba juga sering membantu nelayan dalam menangkap ikan, karena di mana ada lumba-lumba, di situ ada ikan cakalang. 

Pengetahuan alam ini merupakan pengetahuan umum bagi suku Bajo, terlepas dari gender dan usia mereka. Perempuan suku Bajo pada beberapa kesempatan juga menangkap ikan dan rumput laut, seperti tokoh Tayung yang melakukan hal tersebut demi menafkahi anaknya. 

Tempat tinggal dan alat transportasi

Suku Bajo tinggal di rumah panggung yang dibangun di atas permukaan air laut dalam kedalaman satu hingga delapan meter. Rumah satu dengan rumah lainnya dihubungkan dengan jembatan kayu. Biasanya, rumah panggung suku Bajo terpisah dari daratan sehingga mereka perlu menggunakan perahu untuk bepergian. Hal ini bukannya tanpa alasan; mereka ingin menjaga kelestarian ekosistem di sekitar mereka.  

Dalam bertransportasi, suku Bajo memiliki empat jenis perahu berbeda: leppa, solo-solo, bodi, dan jojolor. Leppa digunakan masyarakat untuk membawa barang dari darat dan mencari ikan dengan menyelam. Bahkan, anak-anak juga belajar mendayung dengan perahu ini. Radius penggunaannya 6 – 8 kilometer. Solo-solo mirip dengan leppa, perbedaannya hanya pada penggunaan mesinnya. Bodi adalah kapal perahu besar dan bermesin yang digunakan untuk menangkap ikan, memasang jarring, dan membawa barang berukuran besar. Sementara itu, jojolor adalah versi besar bodi yang membutuhkan biaya lebih banyak, sehingga tidak semua orang memilikinya.  

Nah, itu dia beberapa budaya suku Bajo yang diangkat dalam film The Mirror Never Lies. The Mirror Never Lies tak hanya membuktikan kapabilitasnya dalam menyajikan tontonan berkualitas dari segi produksi dan jalan cerita. Lebih dari itu, film ini mengajarkan kita untuk merawat dan menghargai alam, terutama ekosistem laut Indonesia. Mengingat maraknya perusakan ekosistem laut akhir-akhir ini, rasanya kita perlu merefleksikan diri kembali melalui film karya Kamila Andini ini. Segala adat dan tradisi suku Bajo yang sesuai dan selaras dengan alam tentu patut diapresiasi, namun, perlu diingat bahwa kewajiban menjaga ekosistem laut Indonesia bukan tugas mereka semata.