(Juliana Intan Permatasari)

Hai Sobat Atourin! Sudah punya bucket list untuk liburan kalian nanti? Kalau belum, mungkin kamu harus mempertimbangkan kota Karanganyar sebagai destinasi kota yang harus kamu pijak selanjutnya. Ada banyak rekomendasi tempat hits, makanan, serta legend stories yang menarik dari Karanganyar, kabupaten di Jawa Tengah. Tetapi jika teman-teman tertarik dengan urban legend stories, mungkin Candi Cetho adalah jawaban yang tepat atas rasa penasaran Sobat Atourin yang ingin berwisata dengan tema sejarah nusantara. 

Candi Cetho adalah salah satu situs peninggalan di Pulau Jawa dan menjadi salah satu candi tertinggi di Indonesia, posisinya terletak di lereng sebelah barat dari Gunung Lawu. Mungkin Sobat Atourin ada yang penasaran, kenapa ya sebuah situs peninggalan selalu berada di dataran tinggi ? Ini dia jawabannya;  menurut kepercayaan animisme dan dinamisme yang sudah ada bahkan pada zaman pra-Hindu, mereka meyakini bahwa benda pusaka dan roh nenek moyang atau leluhur bisa menjaga peradaban manusia. Sejak saat itu, segala yang ada di gunung adalah tempat yang sakral karena jaraknya yang berada di dataran tinggi dekat dengan langit. Candi ini adalah peninggalan Kerajaan Majapahit di masa akhir kekuasaan Raja Prabu Brawijaya V. 

Candi Cetho

Sejarah  Ditemukannya Candi Cetho 

Candi Cetho ditemukan pertama kali oleh Van Der Vlies pada tahun 1842, lalu hasil penelitian beliau diwariskan kepada W.F Stutterheim, K.C Crucq dan A.J. Bernet Kempers. Pada saat awal ditemukan, Candi Cetho memiliki belasan teras atau punden bertingkat sampai akhirnya mengalami renovasi besar-besar oleh pemerintah pada tahun 1970 menjadi 9 teras atau punden tingkat. 

Secara filosofis, arti dari nama Cetho adalah nyata atau jelas. Jelas secara pandangan manusia dan nyata secara gaib. Pada sudut pandang manusia,  selain cuaca yang sangat sejuk, Candi Cetho memperlihatkan kepada kita pemandangan indahnya dua daerah yaitu Karanganyar dan Kota Solo dari ketinggian 1.496 meter. Kita bisa melihat secara jelas keberadaan dua daerah itu dari satu tempat, sungguh pemandangan yang mengesankan bukan!

Selain masih menjadi jalur pendakian,  tempat ini masih digunakan untuk peribadatan masyarakat Hindu di sekitaran Karanganyar dan juga kepercayaan masyarakat Kejawen. Candi Cetho selalu menjadi tempat favorit bagi para kaum spiritualis. Kesempurnaan candi ini dipercaya bisa memberikan energi positif secara batin bagi siapa saja yang bersemedi di sini, juga sebagai syarat atau langkah awal ritual sebelum naik ke Gunung Lawu. 

Arti dan Mitos di setiap Punden Candi Cetho

Pandangan pertama ketika teman-teman masuk ke komplek Candi Cetho, teman-teman langsung disambut oleh halaman yang sangat luas serta pendopo yang berada di teras tingkat pertama untuk meletakkan sesaji. Ini akan menjadi kesempatan langka dan pengalaman yang tidak akan terlupakan jika teman teman datang disaat umat beragama Hindu atau masyarakat kepercayaan Kejawen sedang melakukan peribadatan di Candi Cetho. Selanjutnya di punden tingkat kedua, Sobat Atourin langsung disambut oleh Petilasan Ki Ageng Krincing Wesi. Beliau dipercaya sebagai leluhur masyarakat di sekitaran desa Cetho. Ketika sampai di teras ketiga dari Candi Cetho, teman-teman langsung melihat penampakan batu yang jika dari atas berbentuk burung Garuda yang merupakan representasi kendaraan Dewa Wisnu. Arti simbol literatur ini menggambarkan pemeliharaan atau sebagai pelindung alam semesta. Sedangkan arca yang berbentuk kura-kura ialah representasi Dewa Wisnu itu sendiri. Secara keseluruhan, arti simbol ini adalah menjaga tanah Nusantara. 

Ketika sampai pada teras atau punden keempat, teman-teman langsung melihat relief-relief hasil peninggalan masyarakat zaman dulu. Relief–relief tersebut adalah simbol literatur yang menceritakan Dewi Huma, istri dari Dewa Siwa yang melakukan pelanggaran kepada semesta lalu berubah menjadi raksasi bernama Bathari Durga. Cerita ini berasal dari cerita Sudamala dari Kitab Mahabarata. 

Salah Satu Patung di Candi Cetho

Pada teras kelima dan keenam, ada dua pendopo yang berada di sisi kanan dan kiri. Teras kelima dan enam punden Candi Cetho biasa digunakan untuk acara peribadatan ataupun tempat istirahat pengunjung untuk sekedar duduk di pelataran. Ketika sampai ke tempat ini, disarankan untuk menjaga perilaku serta tutur kata ya Sobat Atourin untuk saling menghargai makhluk hidup di sekitar kita serta jangan membuang sampah sembarangan. Teras ketujuh candi Cetho ada dua buah arca sangat menarik, di sisi kiri ada Ki Noyo Genggong dan di sisi kanan ada Ki Sabdo Palon yang dikenal oleh masyarakat Hindu sebagai tokoh penasehat spiritual yang sangat berpengaruh pada masa kejayaan Raja Prabu Brawijaya V.

Di teras kedelapan ada arca Prabu Brawijaya V dan di sebelah kiri sisi candi Cetho ada arca yang berbentuk phallus (kelamin laki-laki). Mungkin terkesan vulgar tetapi konsep Lingga Yoni dilambangkan sebagai makna kesuburan atau sebuah pengharapan akan kesuburan agar alam semesta selalu melimpah ruah. Di sisi lain, Lingga Yoni dengan filosofis yang kuat dan tinggi akan makna ini menambah rasa ketertarikan dengan cerita legenda dan filosofinya. Dimana candi ini menggambarkan posisi perempuan secara seksual lebih tinggi derajatnya dari laki- laki. Secara garis besar atau bisa disimpulkan edukasi seks sebenarnya sudah ada sejak jaman dulu dan menambah kesadaran kita akan alam semesta dan sang pencipta. Karena setiap yang dilarang pasti ada tujuan baik atau karma baiknya. 

Untuk di teras kesembilan, bagian utama dari Candi Cetho ini tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang. Tempat yang berukuran 2 meter persegi ini hanya dikhususkan untuk umat beragama Hindu yang berkunjung ke Candi Cetho untuk beribadah. Selain itu juga ada tempat khusus untuk penyimpanan barang-barang kuno.

Candi Cetho

Harga Tiket Masuk Dan Fasilitas

Untuk biaya masuk Candi Cetho, teman-teman hanya perlu membayar Rp.10.000,00 untuk wisatawan lokal dan Rp.30.000,00 untuk tiket wisatawan mancanegara per orangnya. Jam buka tempat wisata ini setiap hari di jam 08.00 pagi sampai jam 17.00 WIB. Untuk fasilitas yang ada di kompleks candi ini cukup lengkap, ada area parkir motor dan mobil. Bahkan di sepanjang jalan di luar kompleks gapura tersedia penjual makanan dan penginapan pun ada. Menikmati sejuknya kaki gunung Lawu sambil mempelajari sejarah serta agama lain mungkin akan menjadi pengalaman wisata religi yang bisa menenangkan hati ya!

Semoga informasi ini bermanfaat ya sobat Atourin. Jangan lupa untuk membaca segala tips mengenai perjalanan di website serta akun Instagram Atourin. Meski pandemi ini membuat jadi #dirumahaja, tapi kalian bisa mengobati rasa kangen liburan dengan mengikuti rangkaian acara virtual traveling bareng Atourin untuk menjawab bucket list perjalanan kamu selanjutnya. Sampai jumpa Sobat Atourin, selamat jalan-jalan dan berpetualang!