Time to read: 5 Menit

(Windy Meiliyanti Puspita Dewi)

Hi Sobat Atourin, pasti kalian tahu Provinsi Nusa Tenggara Timur kan? Nah Sobat Atourin tahu gak sih, wilayah NTT ditinggali oleh berbagai suku. Salah satu suku tertuanya adalah Suku Boti atau disebut sebagai masyarakat Boti. Mereka masih mempertahankan tradisi dari leluhur Timor loh. Contohnya adalah hukum adat dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya. Selain itu, mereka masih dipimpin oleh raja yang disebut sebagai Usif.

Suku ini dibagi menjadi dua, yaitu Suku Boti Dalam dan Suku Boti Luar. Suku Boti Dalam berada di pedalaman Pulau Timor, sedangkan Suku Boti Luar masuk ke dalam wilayah Suku Amanuban. Suku Boti Luar sudah terbuka dan menerima mengenai perkembangan yang ada di negara. Begitu pun juga dengan Suku Boti Dalam yang sudah mampu berbahasa Indonesia, walaupun belum terlalu fasih. Akan tetapi, Suku Boti juga selalu menggunakan bahasa daerahnya yaitu bahasa Dawan.

Masyarakat Boti yang tinggal di pedalaman, mengakibatkan adanya keterbatasan dalam beberapa hal. Mereka memiliki sumber mata air yang terbatas. Untuk mendapatkan air, mereka harus mengantri karena kebutuhan bersama. Selain itu, mereka memiliki keterbatasan listrik, sehingga mereka harus mengandalkan tenaga surya atau genset. Selain beberapa keterbatasan yang terjadi di wilayah tempat tinggal mereka, kondisi daerah mereka cenderung tandus dan kering. Oleh karena itu, ketika musim kemarau, daratan tersebut akan berubah menjadi coklat dan kering. Sedangkan saat musim hujan, daratan akan berubah menjadi hijau dan menjadi sabana yang luas.

Rumah ada suku boti, Nusa Tenggara Timur

Masyarakat Boti memiliki beberapa mata pencaharian, seperti petani, peternak dan pembuat kain tenun. Mereka bertani hanya sebatas memenuhi kebutuhan mereka, karena keadaan tanah dan air yang kurang mendukung. Tumbuhan yang ditanam adalah buah asam, kemiri, dan jagung yang merupakan makanan pokok sehari. Selain bertani, mereka juga beternak dan berladang di tanah kering yang disebut sebagai Atoni Pah Meto. Bertani dan beternak merupakan pekerjaan dari pria untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minuman. Sedangkan, para wanita bekerja di rumah seperti memasak, mengurus anak, dan membuat kain tenun.

Suku Boti memiliki berbagai budaya dan kepercayaan yang masih dilakukannya sampai sekarang. Budaya yang mereka lakukan seperti penggunaan natoni sebagai bentuk komunikasi untuk menjalin tali persahabatan. Natoni merupakan sarana yang digunakan untuk saling memaafkan satu sama lain, agar terjadinya kehidupan yang rukun. Mereka menjalankan natoni karena dianggap sebagai ritual yang ampuh dan kewajiban dalam Halaeka yaitu Lais Ma Nekat yang berupa hukum kasih terhadap sesama manusia, alam dan tuhan. Bentuk dari natoni berupa pagelaran pertunjukkan. Natoni diartikan sebagai doa bersama yang dipanjatkan kepada uis pah dan uis neno. Selain itu, natoni juga sebagai bentuk terima kasih kepada orang yang datang dalam upacara tersebut.

Selain kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Boti, terdapat kepercayaan yang masih dipercayai yakni Halaeka. Dalam kepercayaan Halaeka terdapat dua dewa yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah merupakan dewa bumi yang dianggap sebagai sosok ibu yang mengawasi dan mengendalikan bumi dan alam semesta. Sedangkan Uis Neno merupakan dewa langit yang dianggap sebagai sosok bapak yang menjaga alam baka. Kepercayaan Halaeka tidak mengenal surga dan neraka, melainkan Et Fatu Bian Ma Hau Bian yaitu di balik batu dan pohon. Maksud hal ini adalah mereka percaya bahwa arwah yang sudah meninggal akan berada di balik batu atau pohon. Akan tetapi, arwah tersebut tidak menetap di balik pohon atau batu dengan yang lama, karena akan lahir kembali dalam wujud keturunannya. Cara mengetahui bahwa anak yang dilahirkan merupakan kembalinya arwah leluhur dengan melihat apakah ketika baru lahir menangis. Cara lain yang juga membuktikan hal tersebut yaitu ketika ibu yang mengandungnya memimpikan sosok leluhur tersebut.

Kepercayaan lain yang menjadi suatu tradisi dari masyarakat Boti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah pria yang harus berkonde. Tradisi ini dilakukan sejak zaman nenek moyang. Ketika anak laki-laki lahir, maka rambutnya harus dicukur, karena jika tidak maka akan membawa malapetaka. Setelah itu, rambut laki-laki boleh dicukur kembali ketika berusia 10 tahun yang dianggap sebagai tahap pertumbuhan seorang anak. Pada saat itu, dijadikan sebagai ritual pemotongan rambut yang disebut Eu Nak Funu. Setelah ritual tersebut, pria harus merawat rambutnya hingga dewasa, dan tidak boleh dicukur lagi. Hal itu agar rambut mereka dapat dikonde.

Bagi pria Boti yang belum menikah meletakan konde di belakang kepala, sedangkan yang sudah menikah meletakkannya di ubun-ubun. Pria Boti yang tidak berkonde dan memotong rambutnya, akan mendapatkan musibah seperti sakit dan kematian. Apabila hal itu terjadi, maka pria tersebut bersama keluarganya harus datang kepada raja. Raja akan menyuruh mereka pergi ke hutan untuk berdoa. Lalu setelah berdoa, raja akan memberitahukan alasan mengapa ia sakit dan apa yang harus dperbuat agar ia dapat sembuh. Biasanya orang yang sakit akan diminta untuk membawa hewan dengan warna bulu tertentu. Setelah dibawa, hewan tersebut harus dilepaskan di hutan. Melalui cara tersebut, mereka akan sembuh.

Nah menarik sekali ya pembahasan terkait dengan masyarakat Boti. Seperti kita tahu bahwa Indonesia ditinggali oleh ratusan suku dengan keunikan masing-masing. Perbedaan ini menjadi kekayaan yang mempersatukan kita semua seperti halnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan ini juga menjadi wahana bagi kita semua untuk belajar toleransi atau menghargai satu sama lain. Kamu bisa menjelajah kekayaan seni dan budaya Indonesia bersama Atourin loh! Cek website dan Instagram Atourin ya untuk mendapatkan inspirasi seni, budaya, dan pariwisata Indonesia.

Sumber referensi:
Konay, A. (2017). WAKTU DALAM KOSMOLOGI ORANG BOTI DALAM DI TIMOR.
Sandiningtyas, H., & Wiyono, B. B. (2018). PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA LOKAL SUKU BOTI: STUDI KASUS. Jurnal Kajian Teori dan Praktik Kependidikan, 3 (2).
Mengenal Kehidupan Warga Boti, Suku Asli Timor yang Menolak Modernisasi – Regional Liputan6.com
https://repository.uksw.edu/handle/123456789/13351