Ditulis oleh T Bachtiar dalam Ayobandung.com
Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung

RONABUMI dan gejala kebumian yang terlihat dari dalam jendela keretaapi, seperti bergerak ke belakang, terus berganti-ganti. Inilah geotrek sejarah bumi yang mengagumkan di sepanjang perjalanan naik keretaapi antara Bandung-Jakarta (Stasiun Gambir) selama 160 menit.

Rel dibangun di atas dataran, melintasi lembah yang dalam, mengelilingi gunung, menembus terowongan, menuruni dan menanjaki medan yang terjal, seperti menarik gulungan gambar sejarah bumi. Keretaapi melaju dari kawasan, yang menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografi, berangkat dari Zona Bandung, menerus di Zona Bogor, dan berakhir di Dataran Pantai Jakarta.

Perjalanan geotrek berangkat dari Stasiun Bandung (+709 m) yang dibangun di atas endapan kipas aluvial dari letusan-letusan gunungapi di utara Bandung, dan yang terakhir dari letusan-letusan Gunung Tangkubanparahu sejak 90.000 tahun yang lalu. Kawasan ini termasuk ke dalam Zona Bandung, zona gunungapi.

Gunungnya ada yang masih aktif sampai sekarang, yaitu Gunung Tangkubanparahu, dan banyak gunungapi tua yang sudah lama istirahat. Cekungan Bandung dengan lebar 55 km x 25 km, berada pada ketinggian antara +650 m sampai +675 m. Dataran Tinggi ini dikelilingi rangkaian gunung-gunung, yang di tengahnya mengalir Ci Tarum sepanjang lebih dari 300 km dari hulunya di Gunung Sembung sampai di muaranya di Laut Jawa.

Di utara kawasan yang subur ini terdapat Gunung Burangrang (+2.050 m), Bukit Tunggul (+2.209 m), dan Gunung Tangkubanparahu (+2.084 m). Di selatan terdapat Gunung Malabar (+2.343 m) dengan beberapa gunung berapi tua seperti Gunung Patuha (+2.429 m) dan Gunung Kendeng (+1.852 m).

Dari Stasiun Bandung, keretaapi menuju Stasiun Cimahi (+723 m), keretaapi melaju di atas kipas aluvial dari material letusan Gunung Sunda (+4.000 m), yang di atasnya dilapisi endapan tipis dari letusan Gunung Tangkubanparahu.

10 km di utara, berdiri megah Gunung Burangrang. Ronabumi lereng gunungnya terlihat berbeda dengan ronabumi lereng Gunung Tangkubanparahu. Lembah-lembah Gunung Burangrang sudah ditoreh dalam, sehingga jarak antar punggungannya menjadi jarang. Dalam istilah kebumian ronabumi seperti ini disebut barangko. Boleh jadi, inilah yang menyebabkan gunung ini diberi nama Gunung Burangrang.

Sedikit ke timur, sekitar 15 km di utara, terlihat Gunung Tangkubanparahu. Hanya dari arah selatan bentuk gunung ini seperti perahu yang terbalik. Inilah yang menginspirasi lahirnya geomitologi Gunung Tangkubanparahu dengan tokoh utama Sang Kuriang dan Dayang Sumbi. Gunung Tangkubanparahu lahir dan membangun dirinya dari kaldera Gunung Sunda sejak 90.000 tahun yang lalu sampai sekarang.

Gunung Sunda, kini hanya tersisa jejak kedahsyatan letusannya, berupa dinding kaldera Gunung Sunda dengan ukuran 6,5 x 7,5 km yang melengkung dari Gunung Burangrang ke utara dan timur laut, yang di dasar kaldera sisi utara terdapat danau kaldera, yang sekarang terkenal dengan nama Situ Lembang.

Letusan Gunung Sunda terjadinya dalam rentang antara 210.000-105.000 tahun yang lalu. Material letusan mahadahsyatnya yang terjadi 105.000 tahun yang lalu, meluncur ke arah selatan, dengan seketika membendung Ci Tarum di utara Padalarang yang jaraknya 15,5 km dari pusat letusan. Inilah yang menyebabkan terbentuknya Danau Bandung Purba, yang ketinggian airnya mencapai ketinggian +725 m dpl.

Menurut MAC Dam (1994), Danau Bandung Purba Timur bobol di Curug Jompong mulai 16.000 tahun yang lalu. Selama 89.000 tahun, dasar Cekungan Bandung tergenang danau, yang menyebabkan lumpur mengendap di dasarnya, sehingga kawasan ini menjadi datar, seperti antara sedikit ke barat dari Cicalengka sampai Stasiun Kiaracondong.

Stasiun Padalarang sudah dilewati, di barat terdapat lembah yang dalam dan lebar, itulah aliran Ci Meta. Sebelum terjadi letusan Gunung Sunda 105.000 tahun yang lalu, aliran Ci Tarum melewati lembah ini.

Di barat, mendinding rangkaian perbukitan batukapur Citatah atau kars Rajamandala yang terbentuk 28 juta tahun yang lalu. Perbukitan kapur itu mulai dari Pasir Cikamuning-Tagogapu, Pasir Bengkung-Karangpanganten, Pasir Pawon, Gunung Masigit, Gunung Bancana, Karanghawu, Pasir Pabeasan, Gunung Manik, menerus sampai ke Pasir Sanghyangtikoro, dengan ketebalan antara 60 m-100 m.

Keretaapi melintas di jembatan Cikubang yang berdiri kokoh dengan tiang setinggi tinggi 80 meter dari dasar Ci Kubang, dengan pemandangan yang indah. Jembatan yang mulai digunakan tahun 1906, panjangnya 300 m, merupakan jembatan keretaapi terpanjang di Pulau Jawa yang masih digunakan sampai saat ini.

Berikutnya melintasi jembatan Sasaksaat dengan ketinggian 72 m dari dasar sungai, dilanjutkan menembus Terowongan Sasaksaat yang masuk ke dalam bukit batu Cidepong. Terowongan ini panjangnya 949 m, menembus bukit batu hasil letusan gunungapi tua berupa breksi yang seperti adukan batu beton dan lava yang meniang dan melembar. Terowongan yang kokoh, merupakan terowongan terpanjang di Indonesia yang masih aktif.

Perjalanan masih melintasi lembah dengan jembatan Cisomang. Tingginya 100 m dari dasar Ci Somang. Inilah jembatan keretaapi tertinggi di Indonesia yang masih aktif digunakan. Jembatan yang melintasi Ci Somang ini sudah mengalami penggantian jembatan tiga kali. Jembatan Cisomang pertama mulai digunakan tahun 1906.

Namun, karena terjadi gerakan tanah pada tahun-tahun berikutnya, jembatan pertama ini diganti dengan jembatan generasi kedua yang digunakan mulai tahun 1932, panjangnya 230 m. Konstruksi jembatan Cisomang diperkuat lagi mulai tahun 2000 – 2004, panjang jembatannya menjadi 243 m. Jembatan ini memiliki jalan kecil di pinggir rel, yang bisa dilalui oleh pengendara dengan sepeda motor dan pejalan kaki.

Dari Zona Bandung keretaapi melaju di Zona Bogor yang terdiri dari gunungapi tua dan gunungapi intrusi, seperti Gunung Parang (+963 m) dan Gunung Sanggabuwana (+1.291 m) yang umurnya sekitar dua juta tahun. di Kabupaten Purwakarta.

Gunung Parang bentuknya sangat khas dengan dua menara di puncaknya. Perjalanan keretaapi di dua zona yang bergunung-gunung dengan lembah yang dalam, yang menyebabkan rel keretaapi dari stasiun Bandung sampai stasiun Purwakarta, harus melintasi lembah yang dalam, sehingga banyak dibangun jembatan yang panjang dengan tiang-tiang yang tinggi, melipir melingkari gunung, dan menembus gunung batu. Rel terus melingkar-lingkar di kaki bukit batu, akhirnya sampai di Stasiun Purwakarta (+84 m).

Lepas dari Purwakarta, perjalanan di Zona Dataran Pantai Jakarta menuju Stasiun Cikampek (+146 m). Keretaapi melaju di atas kawasan yang tersusun oleh batupasir yang mengandung abu gunungapi dan campuran kerikil yang terpadatkan. Namun secara keseluruhan, relnya berjalan di kawasan yang datar, sehingga relatif lurus.

Mendekati Stasiun Karawang (+16 m), kereta berjalan di atas endapan laut dangkal berupa pasir, lanau, dan lempung yang berselang-seling, menerus sampai Stasiun Bekasi (+19 m), dan berakhir di Gambir (+16 m).

Geowisata di dalam keretaapi ini perlu dilengkapi dengan peta rel keretaapi yang ditampalkan di atas Peta Geologi. Peta ini perlu dilengkapi keterangan dan penanda situs-situs bumi dan budaya yang penting di sepanjang lintasan.***