Hasnah Eha Anggreyani

Kotagede, sebuah area bersejarah di Yogyakarta yang merupakan bekas ibukota Kerajaan Mataram. Area ini menyimpan pesona khusus dengan keberadaan Omah Kalang, sebuah rumah tradisional yang membawa kita kembali ke masa lalu. Omah Kalang tidak hanya sekedar bangunan tua, tetapi juga sebuah saksi bisu perjalanan sejarah dan warisan budaya yang kaya. Seperti namanya, omah kalang merujuk pada pemilik dari rumah ini yaitu golongan orang atau wong kalang.

Wong Kalang adalah istilah yang mengacu pada sekelompok orang yang dianggap memiliki identitas berbeda dari penduduk Kotagede lainnya. Kata “kalang” berarti pagar atau batas dalam bahasa Jawa. Masih menjadi misteri mengapa kelompok kalang cenderung membatasi diri mereka dari masyarakat luas. Namun seiring berjalannya waktu, mereka semakin terbuka dan turut membentuk identitas masyarakat Kotagede itu sendiri. Omah kalang dengan segala kemewahan dan keindahannya menjadi wujud eksistensi wong kalang yang pada akhirnya dapat membaur dengan masyarakat dan sukses menjadi saudagar atau pengusaha kaya raya.

Salah satu bangunan omah kalang yang paling terkenal di Kotagede adalah omah kalang milik B.H. Noerijah, pengrajin emas sukses pada masanya. Rumah ini berlokasi tepatnya di Jalan Tegal Gendu No.20, Kotagede, Yogyakarta. Pada beberapa bagian rumah terukir angka tahun jawa 1884 atau 1913 masehi yang disinyalir merupakan tahun berdirinya rumah ini. Secara umum omah kalang memiliki arsitektur percampuran antara gaya Indis dan Jawa dengan bentuk bangunan yang mewah mencerminkan status sosial. Dekorasi pada rumah Kalang mencakup elemen ornamen Art Deco dan motif seni Nouveau. Ciri-ciri rumah ini mencakup tiang berumpak, mirip dengan rumah Jawa, penggunaan jendela dan pintu yang dihiasi dengan kaca patri berwarna-warni, serta penggunaan tegel bermotif untuk lantai dan dinding bagian bawah. Pintu dan jendela yang jumlahnya sangat banyak juga menjadi ciri khusus. Tata letak ruangannya mengikuti gaya rumah bangsawan Jawa dengan prinsip ruang pendopo, ndalem, pringgitan, gandhok, gadri, kamar mandi, dan sumur.

Pendopo merupakan ruang publik yang biasa digunakan untuk pertemuan maupun kegiatan pementasan kesenian tradisional. Umumnya pendopo berbentuk ruang terbuka tanpa sekat tetapi berbeda dengan omah kalang, pendopo dibangun dengan cukup tertutup. Struktur tembok yang mengelilinginya dihiasi oleh tempelan batu kali, khas arsitektur Eropa. Adopsi gaya arsitektur barat juga terlihat pada pintu dan jendela dengan kaca patri yang berwarna-warni dan berpola. Pringgitan merupakan ruang liminal antara ruang publik dan privat yang terletak di antara pendopo dan ndalem. Bagian ini biasa digunakan untuk menggelar pertunjukan wayang. Masih mengadopsi gaya arsitektur Eropa, ruang ini memiliki longkangan atau jalan atau lorong pemisah yang beratap. Ndalem, bangunan bersifat privat utama di rumah ini menunjukan unsur tradisional Jawa yang cukup kental. Terlihat dari adanya soko guru atau tiang penyangga khas arsitektur Jawa. Pembagian ruang di dalam ndalem juga mengadopsi kebudayaan jawa yaitu terbagi menjadi senthong tengen, senthong kiwo dan senthong tengah. Senthong tengah adalah ruangan sakral berbentuk menyerupai sebuah altar yang disebut juga pasren atau tempat turunnya Dewi Sri, dewi kesuburan. Sementara itu, senthong kanan dan kiri digunakan sebagai ruang tidur utama. Sementara itu, ruang tidur juga dapat ditemukan di sisi kanan rumah ini yang disebut gandhok. Gandhok digunakan sebagai ruang tidur untuk anak yang sudah beranjak dewasa. Terakhir, gadri merupakan ruang bagian belakang yang khas dilihat dari adanya pintu ganda penyambung antara senthong tengah dan gadri.

Pernahkah kamu mendengar Intro Living Museum Kotagede? museum inilah yang menjadi wajah baru dari omah kalang milik B.H Noerijah. Setelah sempat terbengkalai, Dinas Kebudayaan Yogyakarta merevitalisasi rumah ini dan beralih fungsi menjadi bangunan museum. Museum ini mengangkat konsep intro living museum yang berarti museum ini hanyalah bagian intro atau pengenalan saja. Sebab Kotagede secara keseluruhan adalah sebuah living museum atau museum hidup yang sesungguhnya. Sebagian besar koleksi yang disajikan di Intro Living Museum merupakan replika yang wujud aslinya masih dapat kita temui di area Kotagede, contohnya watu gilang yang merupakan batu singgasana Panembahan Senopati, raja Kerajaan Mataram. Museum ini menyajikan empat klaster potensi Kotagede.

Pada klaster arkeologi dan lanskap sejarah, pengunjung dapat mengeksplorasi artefak, struktur bersejarah, cagar budaya, dan masih banyak lagi. Di klaster kemahiran tradisional, terdapat informasi mengenai warisan arsitektur dan keterampilan pembuatan perak yang menjadi produk khas Kotagede hingga saat ini. Klaster sastra, seni pertunjukan sastra, adat-tradisi dan kehidupan keseharian mencakup ragam kesenian dan kuliner khas Kotagede yaitu kipo dan waru. Terakhir, klaster pergerakan sosial menyajikan sejarah organisasi sosial dan perkembangannya di Kotagede, termasuk kontribusinya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu kisah yang paling terkenal yaitu kontribusi B.H. Noerijah menyumbangkan uang sebesar 6000 gulden untuk keuangan negara di masa awal kemerdekaan. Museum ini dibuka setiap hari Selasa hingga Minggu, mulai pukul delapan pagi. Tertarik untuk berkunjung? Sempurnakan perjalanan wisatamu dengan paket wisata terbaik dari Atourin. Segera kunjungi marketplace kami, ya!

Sumber featured photo: Laman Website Visiting Jogja