Stephanie Gracia Suryani
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo beserta segenap gubernur dan/ atau yang mewakili dari 34 provinsi di Indonesia mengadakan ritual kendi Nusantara. Ritual ini diadakan di titik nol IKN (Ibu Kota Negara) tepatnya di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Mereka membawa tanah dan air dari 34 provinsi kemudian memasukkannya ke dalam sebuah benda berbentuk kendi.
Definisi dan Sejarah
Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya. Ritual di titik nol IKN bisa saja diganti menjadi mencanting batik bersama-sama di selembar kain yang luas atau cukup dengan memakai baju daerah masing-masing gubernur atau dengan kegiatan lainnya. Namun, kira-kira kenapa ya Sobat Atourin, kendi yang dipilih. Seperti apa, sih, definisi dan sejarah kendi di Nusantara sehingga dipilih sebagai bentuk simbolis bhinneka tunggal ika?
Kendi diduga kuat berasal dari India karena kata kendi dikaitkan asal-usulnya dengan kata “kundika” dari Bahasa Sansekerta yang berarti “wadah air” (Adiyatman, 1987:5). Akan tetapi dari segi bentuk, kundika cenderung ramping dengan corong menghadap ke atas, sedangkan kendi berbentuk lebih bulat dengan corong menghadap ke samping. Diketahui pula bahwa kundika hanya digunakan oleh kalangan pendeta atau untuk keperluan beribadah, sementara kendi digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat baik sehari-hari maupun dalam penyelenggaraan upacara (Budianto, 2001:65).
Catatan arkeolog memperkirakan kendi sudah ada di Nusantara sejak 4000 tahun yang lalu atau sekitar tahun 2000 SM. Kendi ditemukan hampir di semua pulau dengan bentuk yang berbeda-beda, mencerminkan keberagaman selera dan pengaruh budaya yang ada (Budianto, 2001:64).
Penamaan kendi di berbagai daerah di Indonesia pun bermacam-macam. Dalam budaya Jawa biasa disebut kendi, kundi, gundi, atau kamandalu. Di Sumatera Utara, tepatnya di Tapanuli, dikenal sebagai labotaneh yang berarti labu yang terbuat dari tanah liat. Di wilayah Sumatera yang lain yaitu di Aceh, dinamai geupet bahlaboh dan di Lampung dikenal dengan hibu. Adapun orang Batak menyebutnya sebagai kandi. Masyarakat Lombok menyebutnya ceret atau cerubuk. Di Sulawesi Selatan disebut busu dan di Pulau Sumba disebut puak (Winata, 2020:530).
Dari persebarannya yang merata di antero Nusantara, mulai dapat kita pahami pemilihan Ritual Kendi Nusantara yang dilakukan para pemimpin bangsa. Selain dari namanya, persebaran kendi juga dapat kita lihat dari artefak yang ditemukan oleh para arkeolog.
Kendi era prasejarah banyak ditemukan di Buni (Jawa Barat) dan Gilimanuk (Bali). Beberapa juga ditemukan di Tebing Tinggi (Palembang, Sumatera Selatan) dan Melolo (Sumba, Nusa Tenggara Timur). Kemudian pada abad ke-8 hingga ke-10, kendi-kendi dengan bentuk menyerupai kundika ditemukan di sejumlah situs candi di Jawa Tengah. Dari rentang waktu abad ke-10 sampai 14, artefak kendi yang ditemukan ialah kendi putih yang berasal dari Thailand. Kendi putih ini ditemukan pada situs Trowulan (Jawa Timur), Sumatra Utara dan bagian tengah Pulau Sumatra (Wahyuningsih, 2013:200).
Bentuk dan Filosofi
Kendi yang saat ini umum ditemui memiliki bentuk badan bulat yang pada awalnya meniru bentuk buah labu. Morfologi kendi dapat dibagi ke beberapa bagian; mulut, bibir, leher, badan, corot, dan kaki atau dasar (Wahyuningsih, 2013:202). Bagian-bagian tersebut umumnya dibentuk secara terpisah kemudian dirakit menjadi satu (Winata, 2020:533).
Ciri khas bentuk kendi ialah tidak adanya pegangan seperti teko zaman sekarang. Kendi biasa dipegang pada bagian lehernya dan langsung dituangkan atau diminum dari corotnya. Hal ini disebabkan tidak adanya cangkir atau gelas dalam budaya Asia Tenggara. Penggunaan cangkir saat ini adalah pengaruh kebudayaan asing (Winata, 2020:537). Hingga saat ini, kendi masih dicintai karena keistimewaannya yang dapat menyejukkan air di dalamnya. Ini karena struktur porosis dari tanah liat.
Dalam bahasa Jawa ada yang disebut kerata basa atau bakronim, yaitu memaknai sebuah kata dengan menganggapnya sebagai suatu akronim. Kendi dimaknai sebagai kendalining diri (pengendalian diri), yakni bahwa manusia harus dapat mengontrol dirinya dari melakukan hal-hal yang jahat. Makna lain dari kendi yaitu teken kang gedi (tongkat yang besar dan kokoh), mengacu pada satu-satunya pegangan yang kuat dalam hidup yaitu Tuhan.
Di Desa Penujak, salah satu desa pengrajin ceret maling atau kendi khas Lombok, kendi masih digunakan dalam ritual kelahiran dan kematian. Pada peristiwa natalitas untuk meletakkan ari-ari dan pada mortalitas untuk tempat air memandikan jenazah. Filosofi dari tradisi ini adalah pengingat bagi manusia yang berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Nah, bagaimana, Sobat Atourin? Ternyata kendi memiliki keterikatan sejarah dan filosofis yang mendalam ya dengan budaya Indonesia? Pantas saja bentuk kebudayaan ini dipilih sebagai simbol persatuan bangsa dalam Ritual Kendi Nusantara di IKN. Tentunya kita berharap agar harapan yang terkandung dalam ritual tersebut dapat sungguh terwujud dan Indonesia terus bersatu di tengah keanekaragaman yang ada.