Sabila Rosyida

Time to read: 5 minutes

Sobat Atourin, sudah pernah nonton film “Sokola Rimba”? “Sokola Rimba” yang ditayangkan pada tahun 2013 lalu merupakan film yang mengangkat kehidupan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi, dan upaya mereka dalam mencapai kesetaraan hak hidup dan pendidikan. Jalan cerita film ini berlangsung dalam perspektif Butet, seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar anak-anak di hulu Sungai Makekal. 

Kehadiran Butet di hulu Sungai Makekal menarik perhatian seorang anak Rimba dari hilir sungai; Bungo. Suatu waktu, Bungo menunjukkan beberapa lembar surat kesepakatan eksploitasi lahan antara pihak pengelola TNBD dengan Orang Rimba di hilir yang telah dicap jempol. Faktanya, tidak seorangpun di kelompoknya yang dapat membaca surat kesepakatan tersebut, dan ternyata, mereka tidak mendapatkan imbalan yang setara. Surat itulah yang menjadi motivasi Bungo untuk belajar bersama Butet dan anak-anak Rimba di hulu; agar ia dapat mempertahankan hak-hak kelompoknya. 

Dengan fokus utama film yang berpusat pada Orang Rimba, kita dapat menemukan nilai budaya yang kental di dalamnya. Artikel ini akan membahas beberapa kebudayaan Orang Rimba di Jambi seperti yang tampak pada film “Sokola Rimba”, mulai dari pranata sosial hingga gaya berpakaian mereka. 

Sekilas tentang Orang Rimba

Penyebutan “Rimba” merujuk pada tempat tinggal komunitas Orang Rimba di dalam hutan. Orang Rimba juga disebut Suku Anak Dalam, namun sebutan ini juga berlaku bagi komunitas serupa di Jambi seperti Batin Sembilan dan Talang Mamak. Per 2017, populasi terbesar komunitas ini terdapat di TNBD dengan jumlah 2.546 jiwa. 

Asal-usul Orang Rimba masih diperdebatkan hingga kini. Beberapa hikayat seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), dan Cerita Orang Kayu Hitam memberikan tiga kemungkinan mengenai asal-usul Orang Rimba. Pertama, Orang Rimba merupakan keturunan dari Sumatera Selatan. Kedua, Orang Rimba merupakan keturunan dari Minangkabau. Ketiga, Orang Rimba merupakan keturunan dari Jambi asli. Tak hanya itu, sebagian Orang Rimba meyakini diri mereka berasal dari Kerajaan Pagaruyung dan sebagian lagi dari Kerajaan Sriwijaya. Namun, menurut Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, kemungkinan besar Orang Rimba berasal dari suku Melayu Proto. 

Pakaian

Cara berpakaian Orang Rimba, seperti digambarkan dalam film “Sokola Rimba”, masih sangat sederhana. Untuk laki-laki, mereka menggunakan kain yang disimpul untuk menutupi kemaluannya, sementara untuk perempuan kain yang sama digunakan sebagai kemben. Dalam film, beberapa tokoh perempuannya juga mengenakan bra. 

Sebelum mengenal kain, Orang Rimba menggunakan kulit kayu ipuh sebagai cawat dan kemben. Namun, penggunaan cawat dari kulit kayu sering menimbulkan rasa sakit karena kutu kayu yang masuk ke dalam kulit. Penggunaan kulit kayu sebagai pakaian ditinggalkan bukan hanya karena produksinya yang memakan waktu lama, tapi juga karena hutan mereka yang semakin hilang. 

Tempat tinggal

Tempat tinggal Orang Rimba dikenal dengan nama sudung. Sudung merupakan pondok tanpa dinding yang beratapkan daun benal, serdang, atau rumbia. Letak satu sudung dengan sudung lain biasanya agak berjauhan. Seiring perkembangan zaman, sudung kini dilengkapi dengan dinding. 

Dalam sebuah adegan, sesampainya Butet di pemukiman Orang Rimba, murid-muridnya berbondong-bondong membangun sudung sebagai tempat tinggal sang guru. Sudung tersebut juga digunakan Butet dalam melaksanakan KBM. 

Pranata sosial

Umumnya, Orang Rimba hidup berkelompok. Dalam satu kelompok, setiap anggotanya memiliki hubungan darah. Masing-masing kelompok dipimpin oleh ketua adat yang disebut tumenggung

Orang Rimba masih membatasi interaksi mereka dengan dunia luar. Sebagian besar Orang Rimba hanya keluar hutan untuk melakukan transaksi jual-beli, namun ada pula Orang Rimba yang tinggal di rumah-rumah yang dibangun pemerintah daerah di desa sekitar TNBD. 

Minimnya interaksi mereka dengan orang asing menjelaskan kecurigaan kelompok di hilir atas kehadiran Butet dan dua anak didiknya dari hulu sungai. Beberapa perempuan di kelompok tersebut waspada terhadap Butet; bahwa ilmu yang diajarkannya kelak akan merebut anak-anak mereka dan membawa mereka ke dunia luar. 

Mobilitas

Orang Rimba tidak hidup menetap, melainkan berpindah-pindah. Perpindahan ini dilakukan saat seorang anggota kelompok sakit atau meninggal dunia, terjadi konflik internal dalam kelompok, dan pencarian hasil hutan. 

Salah satu tradisi yang terdapat di film “Sokola Rimba” adalah melangun, yaitu perpindahan kelompok dalam jangka waktu tak tentu demi mengurangi rasa kesedihan. Melangun dapat berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Namun, lagi-lagi karena perkembangan zaman, melangun kini umumnya hanya berlangsung selama tiga bulan mengingat lahan pertanian dan perkebunan mereka yang tidak dapat ditinggal lama. 

Nah, begitulah beberapa kebudayaan Orang Rimba yang diangkat dalam film “Sokola Rimba”. Tradisi-tradisi ini dilanggengkan bukan hanya untuk menghormati leluhur mereka, tapi juga untuk menyelaraskan diri dengan alam. 

Tak hanya berperan sebagai penghibur, “Sokola Rimba” mengajarkan nilai dan budaya Orang Rimba dengan cara yang menyenangkan. Tertarik untuk menontonnya? 

Referensi:

https://www.tnbukitduabelas.id/orang-rimba
https://www.liputan6.com/regional/read/4139514/menelisik-riwayat-kulit-kayu-ipuh-dan-kain-cawat-orang-rimba-zaman-dulu
http://www.sangkoeno.com/2012/06/sejarah-suku-anak-dalam-jambi-sad.html