(Iqbal Maulana)
Hallo Sobat Atourin, adakah dari kalian yang sudah pernah berkunjung ke candi?
Pernah tidak sih kalian kepikiran bagaimana cara membuat candi pada masa lalu yang mungkin saja teknologinya belum semaju sekarang. Namun, nyatanya meski teknologinya belum secanggih sekarang, candi-candi dari masa Hindu Buddha di Indonesia tersebut masih bertahan hingga kini. Meskipun candi-candi tersebut tidak disusun menggunakan semen, namun bangunannya masih kokoh berdiri hingga sekarang. Hal tersebut tentu saja disebabkan karena adanya teknik tertentu dalam penyusunan batuan candi loh. Kalau Sobat Atourin penasaran mengenai proses pembangunan candi, maka berikut merupakan proses pembangunan candi secara konseptual dan teknikal.
Pembangunan Candi secara Konseptual
Candi merupakan bangunan yang terbuat dari batu maupun bata. Maka dari itu candi-candi di Indonesia, khususnya di Jawa dibedakan menjadi candi masa klasik tua dan candi masa klasik muda. Candi dari masa klasik tua biasanya ditemukan di Jawa Tengah dengan berbahan dasar batu, sedangkan candi dari masa klasik muda ditemukan di Jawa Timur dengan berbahan dasar bata. Tidak hanya bahan bangunannya saja yang berbeda, melainkan bentuk atap, gaya arca, dan relief pada candi masa klasik tua dan muda pun akan berbeda. Meskipun begitu, proses pembangunan candi secara konseptual tetaplah sama karena tetap mengacu pada satu kitab yang dinamakan Silpasastra.
Jadi sebelum sebuah candi dibangun, sthapati atau ahli pembuat candi dan silpin atau para pekerja akan mengacu kepada kitab Silpasastra. Dalam kitab tersebut akan dibahas mengenai tahapan-tahapan pembuatan candi, seperti perencanaan bentuk candi dengan cara bermeditasi bahkan hingga pencarian lokasi yang tepat untuk membangun candi. Candi sebagai bangunan suci tidak bisa dibangun di sembarangan tempat. Jadi diperlukan survei terlebih dahulu agar sesuai berdasarkan isi kitab.
Menurut Kitab Silpasastra, lokasi yang tepat untuk dijadikan sebagai tempat untuk membangun candi adalah pada tempat yang tinggi, berada dekat dengan sumber air yang lebih baik di pertemuan dua sungai, dan pada tanah yang subur. Jadi tidak mengherankan apabila kini, kita menemukan candi-candi yang berlokasi di dekat sungai, kanal, maupun sumber air lainnya. Setelah diketahuinya lokasi yang tepat maka berikutnya adalah perancangan bentuk candi, pembuatan vastupurusamandala, pembuatan denah, dan dilanjutkan dengan pengerjaan fisik. Biasanya sebelum dilaksanakan pengerjaan fisik, sthapati akan melakukan meditasi terlebih dahulu untuk mengetahui rancangan bentuk dari candi yang akan dibangun, maka setelah itu dilanjutkan tahap pengerjaan fisiknya.
Pembangunan Candi secara Teknikal
Proses pembangunan candi secara fisik tentunya dilakukan dengan menggunakan teknologi yang berkembang pada saat itu. Arsitektur candi-candi di Indonesia terbilang unik bahkan bentuknya berbeda dengan candi-candi yang ada di India. Maka dari itu, dapat diketahui bahwa pengerjaan fisik candi di Indonesia dipengaruhi oleh local genius dari masyarakat Indonesia pada masa lalu. Dalam pengerjaannya, tentu saja batu-batuan candi tersebut tidak disusun dengan semen dan teknologi anti gempa seperti sekarang. Melainkan menggunakan bahan-bahan sederhana dan teknik khusus agar batuan tersebut tidak runtuh ketika terjadi gempa.
Bahan-bahan perekat yang biasa digunakan untuk candi-candi yang menggunakan bata hanya berupa perekat dari sisa-sisa bata yang diberi air. Lalu untuk memperkuatnya digunakan teknik khusus yang dinamakan teknik sambung batu. Teknik sambung batu merupakan sebuah teknik yang digunakan untuk membangun candi dengan cara memahat batu sedemikian rupa agar antar batu dapat saling mengunci satu sama lain. Ibaratkan sedang bermain puzzle, maka batuan tersebut akan dibentuk sebuah bentuk khusus agar batuan lainnya dapat dipasangkan sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Terdapat beberapa jenis teknik sambung batu yang ditemukan pada candi-candi di Indonesia. Pada Candi Borobudur sendiri terdapat empat teknik sambung batu, yaitu teknik ekor burung, teknik tipe takikan, teknik tipe alur dan lidah, serta teknik tipe purus dan lubang. Teknik sambung batu ekor burung merupakan teknik yang biasa digunakan untuk menyambungkan setiap sambungan batu pada dinding candi. Pada teknik ekor burung ini, batu-batuan tersebut akan dipahat membentuk bagaikan jam pasir. Batuan yang di bawah akan dipahat ke dalam dengan bentuk jam pasir, lalu batuan yang di atas akan dibuat seperti ada tonjolan dengan bentuk jam pasir tersebut, lalu kedua batu tersebut disambungkan.
Selanjutnya terdapat teknik sambung batu tipe takikan yang dilakukan dengan membentuk sebuah pahatan persegi di bagian tengah batu dan sisi kanan serta kiri dari tiap batu tersebut. Teknik tipe takikan ini biasanya ditemukan pada sambungan batu berupa komponen ornamental, seperti kepala kala, relung, dan gapura. Lalu terdapat teknik tipe alur dan lidah yang dipahatkan memanjang dari satu sisi hingga ke sisi lainya, lalu terdapat pahatan tambahan pada salah satu sisi pahatannya. Teknik tipe alur dan lidah ini biasanya ditemukan pada sambungan batu yang membentuk pagar selasar maupun komponen hiasan seperti makara yang berada pada tangga dan selasar.
Terakhir, terdapat teknik sambung batu tipe purus dan lubang. Pada teknik ini, batuan akan dipahatkan sebuah lubang pada bagian bawahnya lalu pada bagian batu atasnya akan ada tonjolan yang akan dipasangkan pada batu di bawahnya. Sebenarnya hampir sama dengan teknik ekor burung, namun pada teknik ini bentuknya dapat berupa lingkaran maupun persegi saja. Teknik tipe purus dan lubang ini biasanya digunakan pada batu antefik dan kemuncak yang difungsikan sebagai komponen ornamental candi.
Nah, begitulah Sobat Atourin cara membangun sebuah candi yang kini masih berdiri kokoh dan dapat kita kunjungi. Meskipun teknologinya belum secanggih sekarang, namun masyarakat masa lalu memiliki kepintaran dan teknologinya sendiri hingga akhirnya menciptakan teknik sambung batu yang dapat dikatakan juga sebagai teknik anti gempa karena dengan menggunakan teknik tersebut, konstruksi batuan candi menjadi tidak mudah hancur. Hal tersebut disebabkan karena ketika terjadi getaran dari gempa batuan hanya bergerak dan bergetar saja, namun kuncian dan sambungan tersebut akan mengikuti getarannya saja sehingga tidak mudah hancur maupun runtuh.
Dengan begitu kita dapat melihat bahwa masyarakat masa klasik di Indonesia juga sudah memiliki akal dan kepintaran yang luar biasa karena berhasil memikirkan teknik tersendiri untuk membangun candi bahkan bentuknya yang berbeda dengan candi-candi di luar Indonesia. Maka dari itu, candi merupakan sebuah mahakarya manusia masa lalu yang harus kita jaga dan tetap pertahankan ya sobat karena itu menjadi bukti dari kepintaran masyarakat Indonesia masa lalu. Kalau Sobat Atourin penasaran mengenai fun fact lainnya mengenai destinasi wisata yang ada di Indonesia maka bisa mengunjungi website dan Instagram Atourin ya.