(Bianca Evangelista)
Hi, Sobat Atourin! Berbicara mengenai pariwisata, Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia menawarkan berbagai macam pilihan wisata yang menarik. Mulai dari wisata alam, budaya, kuliner, hingga sejarah, semua tersedia. Nah, wisata budaya sendiri merupakan jenis wisata yang cukup dikenal oleh para wisatawan. Memang kalau dibandingkan dengan jenis wisata alam seperti pantai, danau ataupun gunung, wisata budaya kalah populer. Namun jangan khawatir, pengalaman yang akan kamu dapatkan ketika menyaksikan wisata budaya tidak akan mengecewakanmu!
Sumatera Barat tepatnya suku Minangkabau dikenal dengan berbagai macam budaya. Salah satu yang paling menarik terdapat pada tradisi pernikahannya. Tahukah kamu, upacara pernikahan tiap daerah di Indonesia berbeda-beda, lho?! Perbedaan ini berdasarkan pada tradisi daerah, keren banget kan! Nah, begitu pula dengan suku Minang di Sumatera Barat, upacara pernikahan di daerah ini memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan daerah lain. Dalam upacara pernikahan suku Minang, khususnya di daerah Pariaman, terdapat tradisi keluarga mempelai perempuan “membeli” mempelai laki-laki. Bingung? Bukan hanya kamu saja! Mungkin banyak orang bertanya dan ingin tahu lebih lanjut. Sebab dalam beberapa tradisi yang kita kenal pihak laki-lakilah yang “membeli” perempuan, bukan sebaliknya.
“Membeli laki-laki” atau dikenal dengan istilah bajapuik dalam bahasa Minang, memiliki arti “menjemput” dalam bahasa Indonesia. Dalam tradisi bajapuik keluarga perempuan wajib memberikan sejumlah uang, emas, atau harta benda kepada pihak laki-laki sebelum akad nikah dilaksanakan. Nah, pemberian uang, emas atau barang tadi sebenarnya ditujukan untuk menghargai dan menghormati pihak laki-laki yang telah melahirkan dan membesarkan si mempelai laki-laki. Jadi perlu diingat bahwa “membeli” di sini bukan berarti “membeli” secara harfiah dan bukan pula dalam konotasi negatif. Bahkan ada pendapat tujuan pihak perempuan “membeli” laki-laki dalam tradisi bajapuik adalah untuk menghargai derajat wanita. Sebab, perlu untuk kamu tahu bahwa Minangkabau menganut sistem matrilineal sehingga perempuan memiliki kedudukan yang istimewa. Perempuan tidak akan cukup “dibeli” dengan uang maupun harta benda, maka perempuanlah yang “membeli” laki-laki dengan uang atau harta benda.
Untuk kamu yang penasaran dan bertanya-tanya, bagaimana sih asal-usul tradisi ini?! Tidak ada sumber yang dengan jelas menerangkan asal-usul tradisi bajapuik di Pariaman. Awalnya tradisi ini dilaksanakan di seluruh daerah Minangkabau. Namun saat ini hanya dipertahankan di beberapa daerah, termasuk Pariaman. Banyak cerita yang beredar mengenai asal mula dari tradisi ini. Namun, kebanyakan masyarakat menyebutkan tradisi ini sudah ada sejak lama.
Cerita yang cukup terkenal, menyebutkan bahwa hadirnya tradisi ini berkaitan dengan kondisi ekonomi penduduk asli Pariaman. Pariaman merupakan daerah pesisir pantai. Jadi secara tidak langsung penduduk sana hanya bermata pencaharian sebagai nelayan, mereka menjadikan hasil laut sebagai sumber penghidupan. Kemudian datanglah orang rantau dan menetap di daerah Pariaman. Orang rantau tadi ingin menikahkan anak perempuan mereka dengan laki-laki penduduk asli. Namun, penduduk asli Pariaman miskin, sehingga untuk menaikkan derajat calon mempelai laki-laki diberikanlah sejumlah harta oleh keluarga mempelai perempuan. Setelah menikah suami akan diberikan gelar, dan pindah ke rumah istrinya.
Versi lain yang tidak jauh berbeda dengan cerita ini, menerangkan bahwa dahulu ada seorang saudagar kaya yang mencarikan seorang suami untuk anak perempuannya. Singkat cerita ditemukan seorang laki-laki yang elok perilaku dan agamanya, namun laki-laki itu miskin serta tidak punya harta benda untuk menjamin kehidupan berumah tangga. Lalu, si saudagar kaya memberikan sejumlah emas dan lahan pertanian sebagai modal pernikahan putrinya dan laki-laki miskin tadi. Setelah itu, menikahlah mereka dan melanjutkan hidup dengan mengupayakan lahan pemberian saudagar kaya.
Suku Minangkabau memiliki sebuah pepatah yang berbunyi adaik basandi syarak, syarak basandi kitabulloh yang berarti “adat adat bersendi syariat dan syariat bersendi Al-quran”. Jadi semua adat Minang berasal dari ajaran Islam. Berkaitan dengan hal ini beberapa ulama berpendapat bahwa tradisi bajapuik bersumber dari kisah pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Khadijah. Dikisahkan bahwa Khadijah adalah seorang yang kaya raya, sedangkan Nabi Muhammad adalah seorang pemuda miskin. Khadijah tertarik dengan sifat serta tutur kata Nabi Muhammad yang santun, sehingga mau melakukan saja untuk meminang Nabi Muhammad. Maka diberikanlah beberapa ekor unta untuk mengangkat derajat Nabi Muhammad agar tidak terlalu jauh dengan Khadijah.
Namun cerita ini mendapat beberapa pertentangan. Beberapa di antaranya menyebutkan bahwa adat Minangkabau merupakan sebuah rangkaian peraturan yang berumur tua, dan sudah ada sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau. Diperkuat dengan ditemukannya sebuah pepatah lama yang menyebutkan bahwa pihak perempuan selalu manjampuik pihak laki-laki. Argumen lainnya menyatakan bahwa tidak ada hadis shahih ataupun dha’if yang menyebutkan bahwa Khadijah memberikan unta kepada Nabi Muhammad, melainkan sebaliknya Nabi Muhammadlah yang memberikan mahar kepada istrinya. Nah, menurut kamu bagaimana?! Mana cerita sejarah yang paling memungkinkan?
Dalam tradisi bajapuik besaran nilai uang atau harta benda disesuaikan dengan status sosial ekonomi si laki-laki, lho! Jadi jika si calon laki-laki memiliki pekerjaan dan pendapatan yang baik serta mapan maka nilai uang atau harta benda akan semakin tinggi begitupun sebaliknya. Biasanya laki-laki dengan pekerjaan tetap seperti PNS, dokter, maupun polisi memperoleh nilai yang lebih besar. Adapun uang atau harta benda yang diterima tadi biasanya digunakan untuk memenuhi kehidupan berumah tangga. Atau bisa pula untuk kepentingan lain namun terlebih dahulu harus dimusyawarahkan dengan seluruh pihak terkait. Dan dilarang keras menggunakannya untuk kepentingan individu.
Sebagai penutup, setiap tradisi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tentu memiliki nilai-nilai di dalamnya, demikian pula dengan tradisi bajapuik. Stereotip negatif yang tersebar dalam masyarakat luas sering kali menimbulkan persepsi yang berbeda dari ekspektasi nilai-nilai tradisi yang sebenarnya. Anggapan laki-laki “dibeli” dikira sebagai bentuk perendahan terhadap derajat laki-laki. Belum lagi berbagai macam problematik yang berkembang seiring berjalannya waktu dalam tradisi ini. Penyelewengan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab hingga penetapan tarif tinggi secara sengaja oleh pihak laki-laki kepada keluarga perempuan menambah citra buruk tradisi ini. Terlepas dari semua hal itu, sejatinya tradisi itu merupakan bagian dari masyarakat dan wajib untuk dijaga serta dilestarikan.