Pada Sabtu, 22 Maret 2025, Kampung Wisata Rejowinangun menjadi tuan rumah bagi Kenduri Pariwisata Inti Rakyat, sebuah forum santai yang mengangkat isu-isu strategis dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di tingkat akar rumput. Diselenggarakan oleh Atourin dan Desa Wisata Institute, acara ini menjadi wadah diskusi interaktif untuk menggali pengalaman, tantangan, serta praktik terbaik yang telah diterapkan oleh desa dan kampung wisata di Indonesia.
Membangun pariwisata yang berakar pada masyarakat
Kenduri Pariwisata Inti Rakyat bukan sekadar ajang bertukar pikiran, tetapi juga momentum untuk menghidupkan kembali semangat community-based tourism, yakni pariwisata yang tumbuh, dikelola, dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Acara ini menjadi ruang bagi pelaku wisata lokal untuk berbagi inspirasi, mengkritisi kebijakan, serta merumuskan strategi bersama dalam menghadapi dinamika industri pariwisata yang terus berkembang.
Pada volume pertamanya, Kenduri PIR menghadirkan empat narasumber yang telah lama berkecimpung dalam industri pariwisata, yakni Sugeng Handoko (pengelola Desa Wisata Nglanggeran), Dadik Rakhmanto (pengelola Kampung Wisata Rejowinangun), Hannif Andy Al Anshori (Founder Desa Wisata Institute), dan Reza Permadi (Founder Atourin). Diskusi yang berlangsung selama hampir dua jam ini membahas berbagai aspek penting, mulai dari praktik keberlanjutan hingga dampak kebijakan pemerintah terhadap desa wisata.

Regenerasi dan ketahanan desa wisata: kunci keberlanjutan
Sugeng Handoko menekankan pentingnya regenerasi dalam kepengurusan desa wisata agar keberlanjutan dapat terjaga. “Keberlanjutan bukan hanya soal manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan, tetapi juga bagaimana memastikan generasi penerus tetap berperan aktif dalam mengelola desa wisata,” ujar Sugeng yang pada 2023 menerima penghargaan Satyalancana Kepariwisataan.
Menyoroti tren konsep desa wisata yang berkelanjutan, Hannif Andy Al Anshori berpendapat bahwa banyak desa wisata di Indonesia sebenarnya sudah menjalankan praktik berkelanjutan. Ia merujuk pada hasil survei yang dilakukan terhadap 97 desa wisata pada April 2020, yang menunjukkan bahwa 89% di antaranya mampu bertahan selama pandemi Covid-19 karena tidak bergantung sepenuhnya pada sektor pariwisata.
“Desa wisata sejatinya tidak boleh kehilangan esensinya sebagai desa. Aset lokal seperti pertanian, peternakan, dan lainnya harus tetap dijaga agar ketahanan ekonomi masyarakat tetap terjamin. Bahkan dalam membangun desa wisata, jangan sampai masyarakat banyak yang beralih profesi dan meninggalkan kearifan lokalnya. Jika sektor pariwisata mengalami guncangan, masyarakat masih bisa mengandalkan sektor lainnya,” jelas Hannif.
Tantangan kebijakan dan adaptasi desa wisata
Di sisi lain, Reza Permadi mengangkat isu kebijakan pemerintah yang berdampak pada desa dan kampung wisata. Menurutnya, terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang bertujuan untuk efisiensi anggaran telah menyebabkan banyak pembatalan kunjungan studi banding ke desa wisata.
“Dari data Atourin, banyak desa wisata yang selama ini mengandalkan segmen pasar studi banding pemerintahan. Namun, dengan adanya kebijakan baru, banyak grup yang membatalkan kunjungan mereka, sehingga pendapatan desa wisata menurun,” ungkap Reza.
Tidak hanya itu, kebijakan larangan study tour dari beberapa pemerintah daerah juga makin memperumit kondisi. Ia menegaskan bahwa kebijakan-kebijakan ini seharusnya mempertimbangkan dampaknya terhadap pelaku wisata lokal agar pembangunan pariwisata yang berkelanjutan tetap berjalan.
“Kegiatan ini juga berangkat dari keresahan kami, bahwa banyak diskusi yang tidak melibatkan partisipasi dari lokal. Untuk itu, kami ingin menjadikan kegiatan kenduri ini menjadi ruang dialog gagasan yang memberikan panggung untuk pelaku-pelaku wisata, khususnya masyarakat desa/kampung wisata”, pungkas Reza.
Menanggapi tantangan tersebut, Dadik Rakhmanto menekankan pentingnya inovasi bagi desa wisata agar tetap berdaya saing dan kompetitif. Salah satu strategi yang telah diterapkan Kampung Wisata Rejowinangun adalah menciptakan paket wisata lintas kampung/desa di kawasan Kotagede.
“Kompetisi antar desa wisata makin ketat, tetapi alih-alih bersaing, kami memilih untuk berkolaborasi. Dengan menghubungkan berbagai kampung wisata dalam satu paket, kami tidak hanya memperkaya pengalaman wisatawan, tetapi juga memperkuat ekosistem pariwisata lokal,” jelas Dadik.
Mendorong pariwisata yang lebih inklusif dan berkelanjutan

Diskusi dalam Kenduri PIR ini mendapat sambutan hangat dari para peserta. Selain menjadi ajang silaturahmi bagi pegiat pariwisata, acara ini juga membuka ruang untuk menyampaikan keluh kesah, berbagi pengalaman, serta belajar dari praktik terbaik yang telah diterapkan di berbagai desa wisata.
Peserta berharap Kenduri Pariwisata Inti Rakyat dapat terus berlanjut di volume berikutnya sehingga menjadi ruang diskusi yang lebih luas, serta mendorong kolaborasi antara masyarakat, akademisi, dan pemangku kebijakan dalam membangun pariwisata yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan semangat pariwisata inti rakyat, desa dan kampung wisata di Indonesia diharapkan mampu menghadapi tantangan industri sekaligus menjaga kearifan lokal yang menjadi identitas utama mereka.
Kenduri Pariwisata Inti Rakyat: Mengupas Praktik Pariwisata Berkelanjutan di Akar Rumput