Siapa yang tidak kenal Sumba? Salah satu pulau di Provinsi Nusa Tenggara ini memang saat ini menjadi primadona baru bagi para pelancong (travellers). Sumba, yang kerap disapa Bumi Marapu ini, tidak hanya memiliki keindahan alam berupa pantai dan pegunungan namun juga menyimpan cerita yang sangat menarik terkait dengan kehidupan sosial masyarakatnya, yang penuh dengan kearifan lokal.
Di tengah pandemi ini dimana social distancing digalakkan dan di beberapa daerah diterapkan PSBB sehingga membatasi adanya mobilitas masyarakat, maka Atourin mengajak para wisatawan untuk menikmati eksotika Sumba dalam virtual tour selama 2 jam pada Jumát, 8 Mei 2020 yang lalu.
Saat ini virtual tour memang menjadi salah satu trend wisata baru yang digemari oleh wisatawan Indonesia. Yang membuat virtual tour ini spesial adalah pemandunya yang merupakan putra asli Sumba dan menjadi Kepala Desa Tebara, Kabupaten Sumba Barat yakni Pak Marthen Bira. Wisatawan mengunjungi berbagai destinasi wisata menarik di Sumba selama 3 hari 2 malam.
Untuk menuju Sumba, maka wisatawan perlu transit di Denpasar atau Kupang yang kemudian dilanjurkan dengan penerbangan ke Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya atau Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu. Tercatat dalam masa sebelum pandemi, terdapat jadwal harian penerbangan dari dan ke Sumba. Dalam virtual tour kali ini, rombongan peserta yang berjumlah 130 orang mendarat di Bandara Tambolaka. Destinasi pertama yang dituju adalah Laguna Weekuri. Desa Kenala Rogo. Laguna ini menyediakan pemandangan alam yang begitu indah, dimana wisatawan rutun ke laguna dan menikmati air laguna yang jernih berwarna hijau kebiruan. Laguna ini aman bagi wisatawan pemula.
Puas dengan mandi dan berbasah-basahan di Laguna Weekuri, wisatawan diajak untuk menikmati eksotika Kampung Adat Ratenggaro, Umbu Ngedo. Kampung adat ini letaknya tepat di bibir pantai, dengan demikian wisatawan bisa menikmati pemandangan laut lepas di kejauhan. Rumah-rumah adatnya, yang disebut Uma Mangu Toko, masih terjaga dan dirawat dengan baik. Marthen lebih lanjut menjelaskan bahwa salah satu aspek menarik dari kampung adat di sana adalah adanya kubur batu di depan rumah. Kubur batu ini memang merupakan area makam keluarga yang telah meninggal dunia. Saat ini, karena area di sekitar rumah adat yang sudah terbatas, maka penguburan jenazah sudah dialihkan ke wilayah yang terpisah dari kampung adat tersebut.
“Di Sumba, ada tradisi unik untuk menyambut tamu yakni cium hidung. Tradisi ini seperti halnya yang dilakukan Suku Maori di Selandia Baru.” Lanjut Marthen.
Wisatawan terlihat memiliki ketertarikan yang besar untuk memahami kehidupan sosial dan adat istiadat masyarakat Sumba mulai dari pekerjaan dan kegiatan sehari-hari, makanan pokok, sampai pada mas kawin.
Marthen juga menjelaskan bahwa di Sumba terdapat festival tahunan yang disebut Pasola. Sebenarnya ini adalah agenda adat yang berlangsung secara turun temurun. Selama Pasola berlangsung, pemuda setempat menunggang kuda yang berlari kencang dan dari arah yang berlawanan, mereka melemparkan lembing satu sama lain. Pasola bermula dari adanya legenda perebutan seorang putri cantik di Pantai Wanokaka di Sumba Barat. Festival ini biasanya berlangsung Februari/ Maret tiap tahunnya. Salah satu tempat diselenggarakannya Pasola adalah di Lapangan Hobba Kalla. Wisatawan yang ke Sumba juga bisa mencoba atraksi semacam pasola ini.
Wisatawan lantas diajak kembali menikmati segaranya udara pantai di Pantai Mbawana, Panenggo Ede. Pantai ini kerap disebut pantai batu bolong karena di sana memang terdapat susunan batu dengan lubang besar di tengahnya. Lubang ini terbentuk secara alami karena adanya pengikisan karena air dan angin.
Setelah dari pantai ini, wisatawan diajak untuk berkunjung ke Bendungan Waikelo Sawah. Di bendungan ini terdapat gua yang mengerluarkan air untuk pengairan sawah. Dan tepat di bawah bendungan terdapat air terjun mini yang Indah.
Untuk menutup hari pertama, maka wisatawan diajak untuk ke tiga desa adat yakni Kampung Tarung, Kampung Bodo Ede, dan Kampung Prai Ijing Tebara.
Marthen menjelaskan bahwa kontribusi pariwisata di Sumba semakin dapat dirasakan oleh warga setempat. Mereka bekerja mulai membuat kerajinan, menjadi pemandu wisata, menyediakan kamar atau tempat homestay sampai menyediakan pertujukan seni budaya. Wisatawan yang berkunjung ke kampung adat juga dapat berfoto dengan menggunakan pakaian adat Sumba.
“Di Sumba sudah ada beberapa Kelompak Sadar Wisata atau Pokdarwis, mereka ini terus berinovasi dan membangun dengan melibatkan berbagai pihak termasuk anak-anak muda setempat.” tegas Marthen.
Hari Kedua dan Ketika yang Tidak Kalah Berkesan
Sumba telah menjadi primadona tidak hanya bagi wisatawan Indonesia namun juga wisatawan asing. Investasi di dunia pariwisata makin berkembang, salah satunya dengan ditandai dibangunnya resort seperti Nihiwatu, yang sempat dinobatkan sebagai resort terbaik di dunia beberapa tahun lalu.
Di hari kedua, wisatawan yang semula menginap di kampung Pra Ijing Tebara diajak untuk menuju Air Terjun Matayangu. Di perjalanan, wisatawan akan berhenti sejenak di arena Pasola Lamboya, salah satu tempat diselenggarakannya pasola tiap tahun. Air Terjun Matayangu ini dapat ditempuh dengan trekking atau berjalan kaki selama 1,5 jam dari area parkir kendaraan bermotor. Sedikit lama dan melelahkan memang, namun ketika sampai sana, dijamin wisatawan akan betah berlama-lama.
Setelah ke air terjun, wisatawan akan diajak ke Bukit Wairinding. Berbeda dengan topografi di Sumba Barat, di Sumba Timur banyak ditemukan perbukitan dan juga padang savanna yang menjadi tempat ideal untuk pengembangbiakan kuda Sumba. Bukit Wairinding ini adalah perbukitan dengan kontur yang unik seperti gundukan tanah atau terlihat seperti bukit Teletubbies. Di bukit ini, wisatawan dapat menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah.
“Jika ingin melihat bukit yang hijau, maka sebaiknya wisatawan berkunjung saat musim hujan’ Marthen menjelaskan. Adapun untuk durasi waktu kunjungan adalah minimal seminggu agar wisatawan betul-betul bisa puas mengeksplorasi Sumba.
Dari Bukit Wairinding, wisatawan akan menginap di Morinda Villa dan Resto yang merupakan salah satu penginapan terbaik di sana.
Di hari ketiga, wisatawan akan diajak kembali ke pantai. Pantai pertama adalah Pantai Walakiri, Watumbaka dimana waktu terbaik berkunjung ke sini adalah saat matahari terbenam. Yang menjadi lebih menarik adalah, ada beberapa pohon di pantai yang bentuknya meliuk-liuk seperti menari, dengan demikian sering disebut dengan dancing tree.
Dari Pantai Walakiri, wisatawan melanjutkan perjalanan ke air terjun Waimarang.
“Air terjun ini unik karena letaknya di dalam lekukan goa yang berongga. Airnya juga sangat jernih berwarna kehijauan.” Terang Marthen.
Puas di areal air terjun, wisatawan kemudian dibawa kembali ke pantai yakni Pantai Watuparunu. Nama pantai ini di dalam bahasa lokal artinya menyelam. Pantai ini juga memiliki batu bolong seperti halnya Pantai Mbawana.
Destinasi terakhir yang dikunjungi wisatawan adalah Kampung Raja Prailiu. Di sini wisatawan dapat membeli oleh-oleh khas Sumba seperti kain-kain tenun. Menurut Marthen, harga kain tenun beranekaragam mulai dari 500 ribu sampai puluhan juta tergantung dari motif dan lama proses pembuatan. Kain-kain tenun di Sumba, pewarnaannya adalah dengan menggunakan warna alam.
“Di Sumba memiliki banyak sekali suku dengan bahasa dan adat sendiri. Tiap suku memiliki binatang yang disakralkan atau sering disebutkan binatang mitologi. Binatang ini sering dibuat menjadi motif dalam kain tenun suku tersebut. Selain itu, wisatawan perlu mengetahui bahwa motif kain tenun untuk laki-laki dan wanita adalah berbeda. Sehingga jangan sampai keliru membeli atau memakai.” Lanjut Marthen.
Antusiasme Wisatawan Virtual
Wisatawan terlihat sangat antusias mengikuti jalannya virtual tour kali ini. Beberapa di antaranya yang sudah pernah ke Sumba mengaku kangen kembali berada di pulau yang indah ini. Mereka bahkan merencanakan untuk pergi ke Sumba setelah pandemi virus corona selesai.
Selama virtual tour berlangsung pun, wisatawan banyak menanyakan berbagai hal, salah satu yang menarik adalah terkait dengan pengelolaan wisata oleh masyarakat lokal dan upaya untuk menekan dampak buruk pariwisata misalnya masalah sampah.
Tepat sebelum virtual tour berakhir, Johar Zauhariy yang merupakan Co-Founder Atourin menjelaskan terkait dengan konsep keberlanjutan (sustainability) dalam dunia pariwisata dan peran wisatawan untuk mewujudkannya.
“Keberlanjutan di dunia pariwisata bisa terwujud jika semua pihak mengoptimalkan potensi ekonomi, sosial dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Ini penting untuk memastikan bahwa tidak terjadi eksploitasi besar-besaran atas potensi dan sumber daya pariwisata di Sumba atau daerah lain di Indonesia.“
Lanjut Johar, wisatawan dapat menjadi motor penting dan penggerak keberlanjutan dunia pariwisata. Salah satunya adalah dengan menjadi wisatawan yang bertanggungjawab (responsible traveller). Wisatawan dapat menghormati alam dengan tidak melakukan aksi vandalisme atau perusakan alam baik hewan maupun tumbuhan dalam bentuk apapun, memperhatikan aspek sosial dengan menghargai keberadaan wisatawan lain dan tentunya warga lokal, serta membantu menggerakkan ekonomi dengan membelanjakan uang di destinasi wisata dan menawar harga produk yang dibeli dari warga lokal dengan fair price atau harga yang adil dan wajar”.
Akhirnya, semua wisatawan pulang ke rumahnya masing-masing dengan penerbangan dari Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu. Virtual tour kali ini berjalan dengan sukses dan pastinya akan diadakan virtual tour serupa di masa mendatang. Atourin mengucapkan terima kasih kepada Pak Marthen Bira selaku pemandu, masyarakat Sumba, dan seluruh wisatawan. Semoga dunia pariwisata Indonesia bisa tetap dinamis, hidup, segera bangkit pasca pandemi. Sehingga kita bisa merealisasikan rencana jalan-jalan ke Sumba atau daerah lainnya di Indonesia.