(Monika Leonita)
Jalan-jalan jadi sebuah kemewahan yang sangat berharga setahun belakangan ini. Sebelumnya, mungkin tidak ada yang pernah menyangka akan ada waktu di mana kita harus saling menjaga jarak dan menahan keinginan untuk pergi demi alasan kemanusiaan. Di tengah pandemi yang masih berlangsung di Indonesia, kita masih terus harus beradaptasi dengan gaya hidup yang baru yaitu dengan di rumah aja. Walaupun di awal terasa menyenangkan dan bahkan terasa seperti ‘liburan’, rasanya lama kelamaan semua orang merasakan hal yang serupa, kebosanan yang mulai menyeruak.
Namun itulah bentuk kontribusi yang bisa kita lakukan dalam mempercepat berakhirnya pandemi, dengan membiarkan tenaga kesehatan serta garda terdepan bekerja. Sementara itu, kita yang di rumah mungkin harus pandai-pandai mengakali kejenuhan yang ada. Terlihat sepele, tetapi bisa mempengaruhi produktivitas keseharianmu bahkan kesehatan mentalmu. Oleh karena itu refreshing untuk melepas penat sesekali juga dibutuhkan. Salah satunya adalah dengan jalan-jalan secara virtual.
Pada bulan Agustus lalu, Atourin kembali mengajak para wisatawan keliling Indonesia secara virtual dalam rangka menyambut kemerdekaan Indonesia. Salah satu tempat menarik yang diulas dan dikunjungi bersama adalah Kampung Tobati di Papua. Kampung Tobati merupakan pemukiman bagi suku Tobati yang adalah penghuni asli sebelum terbentuknya Kotamadya Jayapura. Kini secara administratif Kampung Tobati sudah termasuk dalam Kotamadya Jayapura, dan terletak di seputaran Teluk Youtefa, Jayapura.
Dipandu oleh salah satu pegiat wisata lokal yaitu Fadillah Wulansari, wisatawan virtual diajak mengenal Kampung Tobati lebih dalam selama kurang lebih dua jam. Di awal acara wisatawan sudah dibuat takjub dengan salah satu keunikan Papua yang ternyata memiliki motto berdasarkan Bhineka Tunggal Ika. Papua yang terdiri dari banyak suku rupanya mempunyai motto yang merupakan gabungan dari beberapa suku yang terdapat di sana yaitu Tobati, Nafri, Yoka, Sentani, dan Tobati-Enggros. Motto tersebut berbunyi “Hen Tecahi Yo Onomi T’Mar Ni Hanased”, yang berarti Satu Hati Membangun Kota untuk Kemuliaan Tuhan. Sesuai dengan perkataan sang pemandu, bahwa walaupun berasal dari suku yang berbeda mereka mempunyai tujuan yang sama.
Nah karena terdiri dari banyak suku yang berbeda, jangan heran jika festival yang diselenggarakan setiap tahunnya memiliki jumlah yang tidak sedikit. Festival budaya yang dikenalkan antara lain Festival Danau Sentani, Festival Teluk Humboldt, dan Festival Cahaya. Semua festival ini merupakan wujud silaturahmi antar suku yang bertujuan mempererat hubungan satu sama lain, terutama dengan generasi penerus yang sudah bekerja di Kota Jayapura. Biasanya festival tahunan ini akan mengangkat budaya lokal demi pelestariannya. Sebagai contoh adalah Tarian Lemon Nipis yang memiliki makna persahabatan sekaligus ditarikan sebagai bentuk rasa syukur atas kehidupan yang sudah dijalani, ataupun Tarian Tifa yang menceritakan tentang burung cendrawasih, satwa endemik Papua.
Namun dengan adanya pandemi, festival tahunan ini terpaksa dibatalkan demi memutus rantai penyebaran pandemi tersebut. Sejak tahun 2020, satu-satunya festival tahunan yang dilakukan adalah Festival Cahaya. Festival ini dilangsungkan di akhir tahun 2020 bersamaan dengan peresmian jembatan Youtefa yang terletak dekat dengan Kampung Tobati. Tentu saja untuk menghindari keramaian acara ini dilakukan secara online dan bahkan masyarakat setempatpun juga dilarang datang sehingga hanya bisa menyaksikan secara dalam jaringan (daring).
Walau terlihat sebagai sebuah kendala dalam pelestarian budaya, justru ini menjadi langkah Papua untuk semakin terlibat dalam digitalisasi. Selain festival tahunan yang dilangsungkan secara daring, hal lain seperti buah tangan atau oleh-oleh juga termasuk. Jika masyarakat lokal biasanya bisa menjual hasil kerajinan tangan mereka pada wisatawan secara langsung, kini hal tersebut tidak memungkinkan. Alhasil masyarakat Kampung Tobati mulai menawarkan melalui platform online yang ada seperti facebook. Oleh-oleh yang bisa dibelipun berbagai macam. Salah satunya yaitu noken atau tas rajut yang terbuat dari kulit kayu buatan dan biasanya dijual polos maupun bermotif. Selain itu adapula hiasan kepala, kaos bergambar noken, serta kemeja batik. Semua ini bisa kita beli dengan kisaran harga Rp200.000,00 sampai dengan Rp1.000.000,00.
Tak hanya festival dan kerajinan tangan lokal, wisatawan juga diperlihatkan budaya Papua lainnya yaitu rumah adat. Terbuat dari daun sagu dan bambu sebagai kerangka, rumah adat Kariwari berbentuk limas dan memiliki tinggi 20 meter sampai dengan 30 meter. Selain itu, yang menjadi keunikan adalah kekokohan rumah ini yang berasal dari delapan kayu besi sebagai penopang bangunannya. Untuk penggunaannya, rumah adat Kariwari dulunya dipakai sebagai kantor kepala adat dan dibagi dalam tiga ruangan utama. Ruangan tersebut terdiri dari ruang meditasi yang terletak di atas, ruang tamu untuk berkumpulnya ketua adat dan orang penting terletak di tengah, dan yang terakhir adalah ruang belajar para anak muda di lantai pertama.
Sedangkan adapula rumah adat yang dulunya dijadikan tempat tinggal, yaitu rumah adat Sway. Secara garis besar rumah ini memiliki banyak persamaan dengan rumah adat Kariwari, di mana bentuk dan bahan bangunannya sama. Tetapi yang menjadi pembeda adalah tata ruangnya yang terdiri dari kamar tidur, ruang tamu, dapur, dan teras belakang. Walau masyarakat Tobati sudah tidak tinggal di rumah adat ini, rumah adat Sway masih menjadi bagian dalam budaya mereka. Kini, masyarakat Tobati tinggal di rumah moderen pada umumnya dengan keunikannya tersendiri yaitu letaknya yang ada di atas laut.
Setelah mengenal rumah adat Tobati, bagian menarik selanjutnya yang dikenalkan adalah destinasi wisata setempat. Pulau Metu-Debi yang terletak tidak jauh dari Kampung Tobati merupakan salah satu destinasi wisata agama, sejarah, sekaligus alam. Selain menjadi pemerintahan pertama Kampung Tobati dan Enggros, pulau ini juga menjadi pusat penyebaran agama Kristen Protestan di Jayapura. Keunikan yang membuat pulau ini bisa dijadikan wisata alam adalah sebutannya yaitu lapangan timbul tenggelam. Hal ini dikarenakan kunjungan wisatawan didasarkan pada pasang-surutnya air. Saat tenggelam wisatawan akan mengunjungi dengan perahu, sebaliknya saat timbul wisatawan akan bisa berjalan kaki di atas pasir putih yang cantik.
Sebagai pelengkap dan wisata yang tak boleh terlewatkan, virtual traveling sore itu ditutup dengan kulineran. Salah satu kuliner yang menjadi andalan Papua adalah Papeda, yaitu hidangan yang terbuat dari sagu dan biasanya disajikan dengan ikan kuah kuning serta sayur kangkung ataupun daun pepaya. Selain itu adapula buah pinang yang dicampur dengan kapur sirih. Menurut Fadillah, bagi wisatawan yang belum pernah mencoba mungkin akan terasa pahit dan tidak enak. Namun bagi masyarakat setempat, buah pinang dan kapur sirih terasa manis dan bahkan biasanya digunakan sebagai penganan untuk obrolan santai.
Wah kira-kira sobat Atourin berani coba nggak nih? Cek juga makanan khas papua lainnya di sini!
Nah setelah puas menelusuri Kampung Tobati secara interaktif dengan pemandu setempat, wisatawan virtual diajak bermain kuis asik yang berkesempatan mendapat hadiah spesial dari Atourin. Tidak lupa, sesi foto bersama juga dilakukan untuk kenang-kenangan berwisata virtual bersama. Di akhir acara, Fadillah juga mengungkapkan harapannya agar pandemi segera selesai sehingga para wisatawan virtual bisa berkunjung secara langsung.
Itulah salah satu jalan-jalan virtual bersama Atourin, melihat dan mengenal Kampung Tobati lebih dalam. Menarik bukan? Dengan jalan-jalan virtual sobat Atourin tetap bisa menikmati destinasi wisata dan berinteraksi langsung dengan pegiat wisata setempat. Dalam waktu dua jam saja informasi yang diberikan sangat bermanfaat dan pastinya membuat bucket-list kita bertambah panjang. Tunggu apa lagi? Yuk pantau terus sosial media dan website Atourin untuk informasi virtual traveling lainnya.
Sampai ketemu di virtual traveling selanjutnya!