(Varajuba Suci Amalia)
Tari Kuda Lumping, Kuda Kepang, Jaranan, atau Jathilan adalah tarian tradisional yang berasal dari Pulau Jawa. Tarian ini dapat ditemui di sebagian besar wilayah di Jawa Timur, seperti Ponorogo, Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Banyuwangi, dan sekitarnya. Meskipun nama di tiap daerahnya berbeda, namun pada dasarnya tarian ini memiliki suasana yang sama, yaitu sekelompok orang yang menari diiringi musik gamelan dengan menunggangi kuda mainan. Perbedaan di setiap daerah juga ditandai dengan ragam gerakan, kostum, serta iringan musik.
Sejarah kesenian ini memiliki versi yang beragam untuk ditelusuri. Yang masih banyak diceritakan oleh masyarakat adalah kisah tentang Klono Sewandono yang ingin memperistri Dewi Songgo Langit, yang kisahnya pun masih berkaitan dengan legenda Reog Ponorogo.
Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan memiliki putri yang sangat cantik bernama Dewi Songgo Langit, atau yang dikenal dengan nama Dewi Kilisuci. Banyak pangeran, raja, dan orang-orang sakti ingin meminang dirinya. Namun, Dewi Kilisuci memiliki kehendak untuk menjadi pertapa dan tidak ingin menikah. Di sisi lain, Raja Airlangga sangat ingin melihat putri mahkotanya tersebut menikah dan mempunyai anak. Setelah bertapa serta meminta petunjuk dari dewa, Dewi Kilisuci akhirnya mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin meminang dirinya.
Dewi Kilisuci meminta calon peminangnya untuk menciptakan sebuah pertunjukkan menarik yang belum pernah ada, jalan bawah tanah, dan seekor binatang berkepala dua. Karena syarat yang diajukan begitu berat dan mustahil, satu persatu pun mundur, menyisakan dua orang raja yang siap untuk memperebutkan sang Putri. Keduanya adalah Raja Singobarong dari Kerajaan Lodaya dan Raja Klono Sewandono dari Kerajaan Bandarangin.
Beberapa waktu kemudian Raja Singobarong, yang diceritakan memiliki kepala singa, mendengar kabar bahwa musuhnya, Raja Klono Sewandono, hampir menyelesaikan syarat dari Dewi Kilisuci. Ia berhasil membuat jalan bawah tanah serta menciptakan kesenian yang belum pernah ada, lengkap dengan barisan 40 kuda kembar. Raja Singobarong pun khawatir dan menyuruh salah satu prajuritnya untuk memata-matai pergerakan lawannya. Ia merencanakan untuk membunuh sang lawan di perjalanan dan merebut hasil jerih payah lawannya tersebut.
Namun, rencana tinggallah rencana. Mata-mata yang dikirim berhasil tertangkap dan dibunuh oleh prajurit Kerajaan Bandarangin. Raja Klono Sewandono marah besar dan menyerbu Kerajaan Lodaya. Pada saat yang bersamaan, Raja Singobarong tidak sedang berada di kerajaannya. Ia sedang berada di sebuah taman bersama seekor burung merak yang hinggap di bahunya untuk mematuki kutu-kutu yang bersarang di kepala singanya.
Raja Klono Sewandono kemudian menemui Raja Singobarong. Pertempuran hebat terjadi. Raja Singobarong kalah di wilayahnya sendiri. Ia kemudian meminta untuk tidak dibunuh dan Raja Klono Sewandono menyepakatinya. Raja Klono Sewandono pun tidak membunuh musuhnya tersebut, melainkan mengubahnya menjadi seekor binatang dengan burung merak yang menempel di kepala singanya. Menjadikan Singobarong syarat terakhir yang dibutuhkan oleh Raja Klono Sewandono untuk meminang Dewi Kilisuci.
Meskipun berhasil menuntaskan semua syarat yang diajukan, Dewi Kilisuci yang sudah membulatkan tekad untuk menjadi pertapa akhirnya tetap menolak lamaran Raja Klono Sewandono. Sang Raja dengan sedih kembali ke Bandarangin, yang sekarang menjadi wilayah Ponorogo, dan mengangkat anak laki-laki untuk menjadi kekasihnya.
Untuk menghormati kejadian inilah di daerah Kediri berkembang Tari Jaranan yang merupakan iring-iringan pasukan berkuda dengan musik gamelan. Sedangkan di daerah Ponorogo berkembang kesenian Reog Ponorogo, perwujudan singa dan merak yang menyimbolkan Singobarong yang telah dikalahkan. Serta terdapat pula Warok dan Gemblak yang menyimbolkan hubungan Raja Klono Sewandono dengan anak laki-laki yang diangkat menjadi kekasihnya. Warok sendiri adalah seseorang dengan kesaktian dan kewibawaan yang tinggi untuk mengatur pengikutnya. Sedangkan Gemblak sejatinya dipersiapkan untuk menjadi Warok muda, namun jika gagal mengikuti ujian, Gemblak akan dijadikan penari Jaranan.
Pada mulanya, kesenian ini dipakai untuk berkomunikasi dengan roh halus dalam tradisi tertentu masyarakat Jawa. Seperti pada kegiatan bersih desa yang ditujukan kepada roh penunggu desa. Maka dari itu, dalam pertunjukkan tari ini biasanya terdapat fase kesurupan atau kemasukkan roh halus yang dijembatani oleh seorang warok. Budaya kesurupan ini diawali dengan pemanggilan roh dengan media yang sudah disiapkan seperti kemenyan, bunga tujuh rupa, ayam hitam, dan lain-lain.
Namun, dari waktu ke waktu zaman akan semakin berkembang, begitu pula sebuah seni pertunjukkan. Dari perubahan ekonomi, politik pemerintahan, pertukaran kepentingan, dan stereotype, kesenian Jaranan sekarang memiliki beberapa identitas. Di antaranya adalah Jaranan Festival yang digunakan dalam momen-momen tertentu, Jaranan Tanggapan atau pertunjukkan yang disewa masyarakat umum, dan Jaranan Sendratari atau pertunjukkan yang hanya menampilkan koreografi tari.
Itulah sejarah dibalik Tari Jaranan yang masih berkaitan dengan kesenian tradisional Jawa Timur lain, yaitu Reog Ponorogo. Pegiat kesenian yang melestarikan Tari Jaranan ini masih banyak tersebar di wilayah Jawa Timur. Menghadapi kondisi dimana pandemi sedang melanda, mereka pun tak tinggal diam dan menyalahkan keadaan. Parade Jaranan Virtual 2020, yang merupakan bentuk kerjasama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur, berhasil memindahkan panggung kesenian Jaranan ke media daring. Membuktikan bahwa kesenian tradisional masih dapat menunjukkan eksistensinya seiring dengan perubahan zaman.
Jika kamu ingin melihat budaya dan kesenian lain yang ada di Indonesia, jangan lupa kunjungi websitedan sosial mediaAtourin. Kamu juga bisa mengikuti rangkaian kegiatan virtual tour yang diadakan oleh Atourin dengan pemandu-pemandu dari setiap daerahnya, loh! Tunggu apalagi? Yuk, daftarkan dirimu.