(Ruth Gabriella)
Time to Read: 3 menit
Indonesia adalah negara dengan ratusan bahkan ribuan kelompok suku dan etnis yang tinggal dan berkembang di dalamnya. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2010 tercatat sejumlah 1.331 kelompok suku di Indonesia—jumlah ini terus bertambah seiring dengan penemuan baru dan eksplorasi oleh pemerintah setempat ke desa-desa terpencil yang belum tersentuh. Dari 1.331 kelompok suku dan etnis tersebut, etnis Tionghoa adalah salah satunya.
Meskipun ‘katanya’ gelombang globalisasi baru muncul ketika alat komunikasi dan transportasi seperti pesawat dan telepon genggam berkembang, nyatanya praktik globalisasi sudah hadir sejak abad ke-5 lewat migrasi penduduk Tiongkok ke Nusantara tepatnya Pulau Jawa. Dilansir dari Historia.id, dalam buku Catatan Negara-Negara Buddhis yang ditulis oleh Faxian/Fa Hsien, seorang biksu asal Tiongkok, ia sempat singgah di Jawa pada tahun 414 M setelah melakukan perjalanan ke India pada tahun 400 M. Baru pada akhir abad ke-14 tepatnya saat Dinasti Ming berkuasa, gelombang imigran dari Tiongkok mulai menyeruak masuk Nusantara dengan tujuan awal yakni untuk berdagang. Seiring bertambahnya waktu dan bergantinya tahun, imigran dari tanah Tiongkok ini melebur dengan suku dan etnis di Nusantara, menetap, berkembang, dan menjadi salah satu etnis resmi yang diakui oleh Pemerintah Indonesia.
Apa yang dijelaskan sebelumnya hanya merupakan sebuah sejarah singkat tentang betapa lamanya etnis Tionghoa berkembang di Indonesia—bahkan sebelum nama ‘Indonesia’ itu sendiri lahir. Banyak jejak peninggalan budaya dan sejarah yang ditinggalkan oleh pelancong dari negeri tirai bambu ini, mulai dari hal yang masih bisa dilihat sampai yang sudah terkubur zaman sampai tidak ada bekasnya lagi. Berangkat dari hal ini lah, Jejak Petjinan lahir untuk mencari, menelusuri, dan mempelajari jejak peninggalan budaya etnis Tionghoa di Indonesia.
Pada awalnya, Komunitas Jejak Petjinan dimulai dengan ‘ketidaksengajaan’. Semua berawal dari kegiatan wisata budaya dan sejarah Tionghoa bernama Melantjong Petjinan Soerabaia (MPS) yang diadakan pertama kali pada tahun 2009. Secara bertahap, ide ‘telusur jejak sejarah dan budaya’ tersebut mulai disusun dan diperkokoh dengan resminya sebuah komunitas bernama Jejak Petjinan setelah kegiatan MPS ke-2 dilaksanakan pada tahun 2010.
Beberapa aktivitas yang bisa dilakukan di Jejak Petjinan antara lain Melantjong Petjinan Soerabaia itu sendiri, Pelesir Petjinan Soerabaya yaitu paket wisata budaya keliling wilayah pecinan di Surabaya yang dikhususkan untuk wisatawan dari luar Surabaya, IK’ Ol’ SAN (Ikutan Ngobrol Santai) yang berisi diskusi terbuka antar anggota tentang sejarah dan budaya pecinan, SKETSA (Sejarah Kebudayaan Tionghoa) yaitu sebuah wadah informasi sejarah berbasis situs daring, Cangkrukan atau nongkrong bareng sesama anggota, pameran foto, dan Kumkum (gathering).
Tempat wisata di berbagai daerah yang pernah dikunjungi oleh Jejak Petjinan yaitu Kampung Kapasan, sebuah kampung yang dikenal sebagai kampung kungfu, lalu blusukan ke Kembang Jepun sambil ik’ ol’ san, ke Klenteng Hong Tiek Han, lalu mampir ke bekas kantor surat kabar melayu Sin Tit Po di Jalan Bibis 3, Surabaya, dan bahkan terbang menuju wilayah pecinan di Jakarta dan Tuban sambil bekerja sama dengan Melantjong Petjinan Batavia dan Melantjong Petjinan Toeban.
Jadi, jika teman-teman Atourin Explorer tertarik dengan budaya Tionghoa, teman-teman bisa banget untuk ikut keanggotaan Jejak Petjinan ini, atau sebelum itu bisa cek informasi lebih lengkap di situs http://jejakpetjinan.org/wepe/. Yuk melantjong bareng!
Kamu juga bisa menemukan banyak informasi dan inspirasi jalan-jalan yang menarik di berbagai daerah di Indonesia dan informasi pariwisata lainnya, tentunya hanya di website Atourin!