Mohamad Fadel Ramadhan
Time to read: 4 menit
Halo sobat Atourin! Kali ini, kami ingin memperkenalkan kepada kalian salah satu kabupaten terunik yang ada di Papua, yaitu Kabupaten Fakfak atau yang dikenal dengan julukan ‘Kota Pala’.
Nama Fakfak berasal dari kata Pakpak yang berarti tumpukan batu berlapis yang banyak ditemui di sekitar wilayah pelabuhan. Fakfak kemudian menjadi identifikasi diri warga asli yang bermukim sejak masa nenek moyang yang ditandai dengan nama marga sebagai identitas dan digunakan hingga saat ini.
Kabupaten Fakfak secara geografis terletak di ujung bagian bawah kepala burung Pulau Papua, membuatnya cukup dekat dengan Pulau Ambon di Maluku. Kabupaten Fakfak merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat dengan ibukotanya yaitu Kota Fakfak. Kota Fakfak dikenal sebagai salah satu kota tertua di Papua. Saat ini, Kota Fakfak terhitung memiliki 17 distrik atau kecamatan dan 142 kampung atau desa dan tujuh kelurahan.
Tercatat dari Juli 2020, Kabupaten Fakfak memiliki populasi kurang lebih sebanyak 18.000 jiwa. Mereka memiliki keberagaman yang cukup banyak yang terdiri dari tujuh suku asli yaitu Mbaham, Ma’tta, Mor, Onin, Irarrutu, Kimbaran, dan Arguni. Sedangkan, dari segi agama, penduduk mereka menganut berbagai agama, mulai dari Islam, Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu, namun Islam, Protestan, dan Katolik merupakan agama yang paling banyak dianut penduduk di sana.
Penduduk Kabupaten Fakfak memiliki slogan yaitu ‘Satu Tungku Tiga Batu, Satu Hati Satu Saudara’ yang bertujuan agar terciptanya toleransi dan harmoni di antara penduduk Kabupaten Fakfak yang memiliki latar belakang dan kepercayaan yang berbeda-beda. Slogan tersebut memiliki arti penting mengenai tiga keragaman dan kekerabatan etnis. Satu tungku tiga batu artinya tungku yang tersusun atas tiga batu yang berukuran sama. Ketiga batu ini, diletakkan dalam satu lingkaran dengan jarak yang sama, posisi ketiganya seimbang untuk menopang periuk tanah liat.
Haru Suroto, seorang peneliti dari Balai Arkeologi Papua, menjelaskan bahwa ketiga batu tersebut memang diharuskan untuk seimbang. Karena apabila tidak seimbang maka tungkunya tidak dapat digunakan untuk memasak. Dari sini, bisa dikatakan apabila salah satu dari tiga keberagaman tersebut ‘rusak’ maka, nilai toleransi pun akan ikut rusak.
Haru Suroto juga menjelaskan bahwa, sebelum ajaran agama masuk, di dalam penduduk Fakfak sudah terdapat kemajemukan etnis. Namun, mereka memandang bahwa walaupun mereka berbeda tetapi mereka tetap satu kerabat sehingga terjadilah harmoni di antara para etnik yang berbeda tersebut.
Setelah ajaran agama masuk ke masyarakat, harmoni dan toleransi antar penduduk Fakfak tetap terjaga. Hal ini dibuktikan dengan lazimnya perbedaan agama dalam satu keluarga. Dalam keluarga seperti ini, anggota tersebut tetap dipersilahkan untuk tetap menggunakan nama marga.
Lalu, adanya akulturasi dalam arsitektur rumah ibadah. Contohnya adalah Masjid Patimburak di Distrik Kokas. Masjid yang dibangun oleh Raja Pertuanan Wertuar pada tahun 1870 dibangun secara gotong royong oleh warga yang beragama Islam, Protestan, dan Katolik. Masjid ini memiliki kubah yang mirip dengan gereja-gereja yang ada di Eropa.
Rasa toleransi juga terasa di Kampung Air Besar, Distrik Fakfak tengah. Di desa ini terdapat kurang lebih 600 jiwa yang tinggal di di kampung tersebut. Namun, hanya enam orang saja yang memeluk agama Islam dan mayoritas penduduk beragama Kristen Protestan. Pada saat bulan puasa, para penduduk mayoritas membantu keenam warga tersebut menjalankan ibadah puasa dengan memberikan makanan untuk sahur dan buka puasa. Kemudian keenam warga muslim tersebut mengundang para warga nasrani untuk berlebaran bersama di rumahnya.
Contoh-contoh di atas merupakan penerapan dari prinsip ‘Satu Tungku Tiga Batu, Satu Hati Satu Saudara’ yang sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Para penduduk Kabupaten Fakfak tetap memegang teguh paham bahwa perbedaan bukan memisahkan, melainkan sarana untuk menyatukan. Oleh karena itu, isu-isu agama tidak pernah menggoyahkan sikap toleransi penduduk Kabupaten Fakfak.
Dari penjelasan di atas, kita bisa belajar bahwa toleransi antar agama dan etnis sangat penting untuk menjunjung kedamaian. Saat ini, negara kita tercinta sedang dilanda isu-isu agama. Sebagai warga negara yang baik, kita harus bisa mencontoh dan meniru sikap toleransi yang ditunjukkan oleh penduduk Kabupaten Fakfak, sehingga walaupun kita sedang dilanda isu-isu agama, kita tetap menjaga kesatuan dan keharmonisan antara masyarakat Indonesia. Kemudian, jangan lupa cek media sosial dan situs resmi Atourin supaya kamu bisa mengetahui budaya-budaya unik lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia!