Sore itu Pak Edi Hambari terlihat sibuk menyiapkan warung kecilnya di tepian Sungai Singkawang. Terlihat Pak Edi, begitu beliau biasanya disapa, sedang menyiapkan makanan dan minuman untuk pelanggannya. Sungai Singkawang adalah salah satu sungai yang mengalir di Kota Singkawang. Dengan hulu berada di pegunungan, sungai ini berhulu di Gunung Roban dan bermuara di Laut Natuna. Singkawang sendiri adalah nama kota di Provinsi Kalimantan Barat. Kota ini terkenal karena keberagaman penduduknya yang mayoritas adalah etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Selama beberapa tahun terakhir ini, Singkawang dinobatkan sebagai kota paling toleran di negeri ini oleh Setara Institute. Keberagaman etnis dan seni budaya ini menjadi salah satu daya tarik pariwisata di kota ini. Kota ini terletak di barat daya Kota Pontianak dan dapat ditempuh dari ibukota provinsi tersebut lewat jalur darat dengan durasi sekitar 3-4 jam.
Singkawang memiliki landskap alam yang unik. Kota ini merupakan kota pantai sekaligus kota dengan barisan perbukitan. Di bagian timur membentang Gunung Poteng sedang di sebelah barat terdapat Gunung Besar. Selain dua gunung tersebut, juga ada Gunung Sari dan Gunung Roban. Di bagian pesisir, bisa ditemukan beberapa pantai yang berpasir putih serta tutupan hutan bakau (mangrove). Salah satu area hutan bakau ada di Desa Kuala yang jaraknya hanya sekitar 3 KM arah barat dari pusat kota. Desa Kuala adalah desa pesisir yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan tangkap. Di desa ini bahkan dibangun fasilitas Singkawang Waterfront berupa jalur pedestrian di sisi Desa Kuala. Pengunjung bisa melihat aktivitas warga sehari-hari termasuk kegiatan para nelayan.
Sudah empat tahun terakhir, Pak Edi aktif berkegiatan dan mengembangkan pariwisata berbasis alam di Desa Kuala. “Keberadaan bakau menjadi penting bagi warga karena hutan ini mengurangi potensi abrasi serta bencana angin laut yang kencang.” Hutan bakau di desa itu sudah ada sejak lama, yang jelas keberadaannya sudah ada sejak Pak Edi masih kecil. Di Desa Kuala sendiri setidaknya luasnya mencapai sekitar 7 hektar. Di desa sebelahnya yakni Desa Sungai Wie yang letaknya dengan Desa Kuala dipisahkan oleh aliran Sungai Singkawang, hutan bakau di sana lebih luas. Pohon bakau selama ini juga belum dimanfaatkan oleh masyarakat setempat kecuali fungsi ekologisnya untuk mencegah bencana alam. Indonesia sendiri merupakan negara dengan hutan bakau terluas di dunia. Menurut data Peta Mangrove Nasional, pada tahun 2021, luasnya mencapai 3.364.076 hektar atau sekitar 20,37% total luas bakau dunia.
Cerita awalnya dimulai ketika ada beberapa orang yang berkunjung ke Desa Kuala untuk berwisata di hutan bakau. Melihat Kota Singkawang yang makin dikenal luas serta banyaknya kunjungan wisatawan dari daerah lain, Pak Edi tergerak untuk mengembangkan pariwisata berbasis alam di desanya. Muara Sungai Singkawang ini dulunya adalah lokasi Pelabuhan Singkawang. Namun karena sudah tidak beroperasi lagi sehingga banyak bangunan serta area di sana yang dibiarkan begitu saja atau dengan kaya lain tidak dikelola. Hutan bakau ini menempel dengan area Pelabuhan Singkawang. “Dulu sering ada orang berkunjung ke sini dan ingin eksplor hutan bakau. Sayangnya memang bahkan belum ada fasilitas wisata apapun bahkan jalan setapak yang membelah hutan bakau di sana.” Dari situ, Pak Edi kemudian dengan beberapa warga lainnya mulai memikirkan konsep wisata yang pas untuk diterapkan. Secara gotong royong dan setelah izin dari pihak terkait, akhirnya beberapa sisi dari hutan itu dibuka untuk jalan setapak. Gayung pun bersambut karena ide mengembangkan pariwisata di sana mengundang ketertarikan berbagai pihak termasuk pemerintah kota setempat. Wisata Pesisir Bakau Singkawang ini ditujukan untuk beberapa hal. Pertama adalah sebagai destinasi wisata edukasi tentang pentingnya bakau serta upaya pelestariannya. Kedua adalah wisata relaksasi dimana berbagai kegiatan bisa dilakukan di sini termasuk healing. Konon berada di dalam hutan akan membuat manusia menjadi lebih tenang dan damai karena adanya suplai oksigen yang lebih melimpah. Dan ketiga adalah wisata kuliner dimana pengunjung bisa menikmati aneka kuliner khas.
Berkah dan Perjuangan di Tengah Keterbatasan
Menggiatkan wisata dari awal bukanlah hal yang mudah. “Salah satu kendala utama adalah kesiapan sumber daya pariwisata.” ujar Pak Edi. Masyarakat setempat belum punya keahlian dan pengalaman sebagai pegiat wisata sehingga perlu banyak belajar terutama tata kelola destinasi pariwisata secara end-to-end. Keberadaan destinasi wisata di pesisir Singkawang ini boleh dibilang sudah pernah mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pemkot Singkawang pernah menggelontorkan bantuan yang kemudian digunakan untuk pembangunan sarana prasarana penunjang wisata seperti jalan setapak, jembatan kayu, toilet, gazebo, menara pandang, dan lainnya. Beberapa institusi pendidikan juga pernah melaksanakan program kegiatannya di sini, salah satunya menghasilkan berbagai poster pesan lingkungan yang masih bisa terpasang di sana. Melalui pembentukan Desa Wisata Pesisir Kuala, desa wisata ini pernah menyabet 300 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia di tahun 2021 yang lalu. Tidak ada tiket masuk yang harus dibayar untuk masuk destinasi.
Pengunjung hanya dikenai biaya parkir untuk tiap kendaraan. Besarnya tergantung jenisnya apakah roda dua atau roda empat. Namun setelah adanya pandemi covid, kunjungan wisatawan menjadi menurun. Terlebih juga mandegnya aktivasi pelaksanaan event tematik yang sejatinya bisa menarik kerumunan atau kunjungan massa.
“Mengembangkan wisata saya sadari tidak mudah dan butuh ketelatenan serta kesabaran. Ini pelajaran penting bagi kami agar apabila kunjungan menurut, namun semangat kita tidak boleh ikut turun.” tutur Pak Edi menimpali.
Saat masa jayanya, wisata bakau di sana sangat ramai pengunjung bahkan beberapa institusi atau komunitas sering melakukan penanaman bibit bakau. Total sampai saat ini sudah sekitar 13.000 bibit bakau yang ditanam oleh berbagai pihak. Pak Edi meyakini bahwa banyak potensi atraksi wisata yang bisa digali. Susur hutan bakau dengan ditemani pemandu tentu menjadi yang paling
favorit. Pengunjung akan dibawa keliling hutan melalui jembatan kayu dan dijelaskan tentang keragaman bakau di sana. Ada juga susur Sungai Singkawang, dimana pengunjung akan menaiki perahu kayu bermotor untuk kemudian diajak menyusuri tepian sungai dan muara Singkawang. Paling cocok memang dilakukan saat jelang matahari terbenam. Bagi yang hobi memancing atau mancing mania, di sana juga tersedia paket memancing di laut yang mana pengunjung akan dibawa melaut dari sore dan balik keesokan harinya. Ada juga paket memancing sero, yang mana pengunjung memancing di tepian sungai dari sore ke pagi esoknya. Hasil pancingan boleh dibawa oleh pengunjung. Pengunjung juga bisa melakukan penanaman bibit bakau di area sana. Bibit bakau bisa dibeli oleh pengunjung sesuai jumlah yang diinginkan.
Pak Edi menyadari bahwa banyak potensi wisata lainnya yang bisa dikembangkan seperti penyediaan homestay, paket kuliner khas pesisir berbasis ikan, atau paket pemantauan burung atau birdwatching. “Saya bermimpi bahwa nantinya juga ada produk makanan dan minuman yang dibuat dari bakau sebagai oleh-oleh khas sini. Termasuk pembuatan batik dengan pewarna alami dari bakau.” Melalui diversifikasi atraksi dan paket wisata tersebut, maka harusnya manfaat ekonomi yang didapat oleh warga setempat lebih besar. Walau tidak seramai dulu, namun sesekali wisatawan memang terlihat berkunjung.
Bakau Lestari, Singkawang Berseri
Hutan bakau telah menjadi bagian penting bagi masyarakat setempat. Selama ini juga tidak pernah terjadi pengrusakan hutan bakau secara sengaja karena masyarakat menyadari fungsinya terutama ekologi yang krusial. “Melalui pengembangan pariwisata yang berbasis alam dan berkelanjutan, saya yakin bahwa masyarakat di sini akan makin menghargai dan menjaga keberadaan hutan bakau ini. Jangan sampai rusak, malah jika bisa makin luas dan lestari hutannya.” harap Pak Edi.
Menurutnya pariwisata pesisir ini bisa menjadi alternatif wisata di Kota Singkawang, melengkapi destinasi wisata yang sudah ada dan lahir lebih dulu. Pak Edi akan terus berkomitmen untuk kembali menggiatkan dan mengembangkan pariwisata di sana. “Saya berharap ada regenerasi dan keterlibatan anak-anak muda di Singkawang karena mereka lah yang punya lebih banyak energi dan kreativitas.” pungkasnya. Dengan makin lestarinya hutan bakau di Desa Kuala dan sekitarnya, tentu akan banyak manfaat yang bisa didapat oleh warga setempat atau Singkawang secara umum.
Atourin mengapresiasi dan mendukung insan-insan pegiat pariwisata seperti Pak Edi Hambari. Kami percaya bahwa pelestarian lingkungan menjadi kewajiban dan seharusnya kebutuhan bagi semua pihak mulai dari pembuat kebijakan sampai masyarakat umum. Keberadaan hutan bakau di pesisir Singkawang dan inisiatif pengembangan pariwisata di sana menjadi bukti adanya semangat pariwisata berkelanjutan atau regeneratif yang diupayakan dan dikerjakan dengan penuh niat dan kerja keras. Tentu tidak mudah karena memang membangun pariwisata tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap. Atourin berkomitmen untuk melakukan pendampingan dan asistensi sesuai kapasitas yang kami punya agar kita semua bisa mewujudkan pariwisata berkelanjutan atau regeneratif bagi negeri ini. Kami berharap bahwa Pak Edi Hambari dan pegiat wisata lainnya di Desa Kuala terus bersemangat serta kompak bergotong royong untuk memajukan wisata pesisir bakau di desanya. Kami sependapat bahwa hutan bakau yang makin lestari akan membuat Singkawang makin berseri. Dalam konteks yang lebih luas, hutan yang makin lestari akan membuat Indonesia makin berseri.