Time to read: 7 Minutes
(Mudhya Razanne Tiara)
Indonesia merupakan negara kepulauan. Sekitar tujuh belas ribu pulau tersebar dari Sabang hingga Merauke. Banyaknya pulau dan lokasi Indonesia yang strategis secara global inilah yang membuat negeri tercinta kita memiliki keragaman budaya yang begitu banyak. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2010 sendiri, tidak kurang dari 1.340 suku bangsa mendiami Indonesia dan memiliki ratusan ragam bahasa. Selain itu, Bangsa Indonesia juga diperkaya dengan kepercayaan lokal hingga agama resminya yang juga turut menyumbangkan berbagai keanekaragaman kebudayaan.
Selain dipersatukan oleh tali semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keberagaman yang ada
di Indonesia juga bisa diakomodasi dengan adanya kearifan lokal, teman-teman!
Contoh nyata dari hal ini bisa dilihat dengan mengunjungi Desa Mbawa di Nusa
Tenggara Barat. Penasaran seperti apa kearifan lokal tersebut?
Desa Mbawa merupakan desa yang terletak di Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Perjalanan menuju Desa Mbawa sendiri dapat ditempuh
menggunakan perjalanan darat dari Bandara Sultan Muhammad Salahuddin di Kota
Bima. Perjalanan ini umumnya akan mencapai waktu satu jam bila menggunakan mobil.
Perjalanan yang dilalui terkadang berliku-liku dan cenderung menanjak karena
lokasinya yang berada di dekat pegunungan. Meski begitu, perjalanan tetap akan
terasa menyenangkan dengan disuguhi bentang alam daerah NTB yang apik.
Sesampainya di Desa Mbawa, tentu teman-teman akan bisa merasakan kesejukan dan
kedamaian khas desa di pegunungan. Desa Mbawa sendiri terletak di ketinggian 1.500
mdpl (meter di atas permukaan laut) yang berlokasi di Pegununungan Soromandi. Hal
yang menarik untuk dilihat dari wisata ini adalah banyaknya rumah panggung yang ada
di sana. Selain itu terdapat rumah adat ikonik nan bersejarah yang disebut juga sebagai
rumah adat Ume Leme.
Bentuk rumah adat ini menyerupai limas atau berbentuk kerucut pada bagian atapnya.
Hal ini merupakan representasi dari makna Ume Leme itu sendiri yang berarti Rumah
Limas. Rumah adat ini bisa mencapai tinggi hingga lima sampai tujuh meter, lho kawan-
kawan! Tidak tanggung-tanggung pula, bila kebanyakan rumah hanya dibuat menjadi
dua lantai. Ume Leme memiliki keunikan berupa adanya tiga lantai dalam rumah
tersebut. Selain itu, material yang digunakan pun terbuat dari alang-alang dan kayu
sangga yang dipercaya bisa menghindari dari kesialan atau bencana.
Sebagai wisatawan, kalian bisa berfoto ketika mengunjungi rumah adat ini. Rumah ini
tidak hanya berfungsi sebagai tempat perlindungan dan beristirahat bagi warga
setempat, tetapi juga sebagai simbol multikulturalisme dan selalu digunakan apabila
akan diadakan upacara adat. Rumah lainnya yang berbentuk serupa ini juga menjadi
istimewa karena dapat menaungi warga Mbawa yang dalam satu keluarga memiliki
anggota yang menganut kepercayaan atau agama berbeda-beda. Sehingga, tinggal
dengan ibu, bapak, kakak yang beragama Protestan, Katolik, maupun Islam justru tidak
menimbulkan masalah bagi mereka. Menarik sekali bukan?!
Pada zaman dahulu pula, masyarakat Mbawa memiliki kepercayaan atau kearifan lokal
berupa adanya penghormatan terhadap leluhur dan pemimpin mereka meski
kepercayaan akan agama lainnya mulai masuk dan dianut oleh masyarakat. Pada abad
ke-14, masyarakat tersebut mengambil bentuk kepemimpinan tertinggi yang disebut
sebagai Neuhi. Neuhi sendiri akan mendiami Ume Leme. Sehingga, Kedudukan
kepemimpinan tersebut pada akhirnya membutuhkan perwujudan dalam bentuk rumah
Uma Lame yang merupakan simbol penyatuan keberagaman di masyarakat tersebut.
Adapun rumah adat Ume Leme dewasa kini lebih banyak dipakai untuk melakukan
ritual upacara adat.
Salah satu ritual adat yang ada ialah Upacara Raju. Upacara ini dilakukan pada bulan
September-Oktober. Tujuannya adalah untuk melakukan doa bersama dan menyiapkan
lahan pertanian sebaik mungkin sebelum masa menanam padi. Yang menarik adalah
meski mereka berasal dari latar agama yang berbeda, namun upacara yang ada
dilakukan dengan semangat gotong royong dan harmonisasi yang tinggi. Upacara ini
sendiri memakan waktu yang cukup lama dan berangsur-angsur. Terdapat tiga jenis
upacara yang teman-teman dapat saksikan, lho! Yang pertama adalah upacara Raju
Na’e yang dilaksanakan selama tujuh hari, Raju To’I selama lima hari, dan Raju To’I
Poda selama tiga hari. Upacara yang ada juga melibatkan dua belas klan yang ada
pada daerah tersebut. Woah, pastinya akan ramai dan semarak sekali bukan?!
Indahnya harmonisasi di antara keberagaman juga akan kalian lihat dari adanya
hidangan babi yang dipersembahkan pada upacara tersebut. Meski mayoritas
penduduk Mbawa beragama Islam, namun toleransi yang tinggi terhadap masyarakat
beragama Protestan dan Katolik lainnya menyebabkan hidangan tersebut menjadi
lumrah. Tidak lupa juga, kedua pemeluk agama lainnya itu juga tetap membuatkan
hidangan halal agar para muslim dapat tetap menikmati santapan seusai upacara
berlangsung.
Ingin mengunjungi Desa Mbawa namun tidak dapat menyaksikan upacara adat yang
ada? Jangan sedih teman-teman! Karena kalian masih bisa untuk mengunjungi dan
berfoto pada rumah ibadah yang berdiri kokoh sebagai bentuk toleransi di sana. Selain
itu, teman-teman juga dapat melihat keseruan warga setempat dalam menenun kain.
Hal ini banyak dilakukan oleh para gadis atau perempuan sebagai bentuk mata
pencaharian mereka. Kain tenunan mereka ini disebut juga sebagai kain Tembe Me’e.
Motifnya yang menarik dengan kualitas kain yang lembut tentu akan sangat cocok
untuk dijadikan sebagai oleh-oleh dari Mbawa. Sebagai hiburan pula, kalian juga bisa
bermain permainan tradisional dengan anak-anak Desa Mbawa.
Pastinya, wisata di Desa Mbawa ini tidak hanya menyuguhkan panorama desa
pegunungan yang indah, tetapi juga memberikan wawasan edukasi mengenai
pentingnya merajut multikulturalisme dan toleransi di masyarakat. Yuk segera
cantumkan destinasi Desa Mbawa di dalam daftar jalan-jalanmu!
Kamu juga bisa menemukan banyak informasi dan inspirasi jalan-jalan yang menarik
lainnya di berbagai daerah di Indonesia lainnya, tentunya hanya di website Atourin!