(Sabila Rosyida)

Jika kamu tinggal di Jawa Barat atau penikmat karya-karya Ahmad Tohari, kata ‘ronggeng’ mungkin bukan hal yang asing buatmu. Ronggeng merupakan tari tradisional yang dilakukan penari wanita dengan selendang yang dikalungkan di lehernya. Sembari melantunkan tembang-tembang syahdu, irama dari calung, gendang, rebab, dan gong akan mengiringi. Istilah ‘ronggeng’ ini juga berlaku untuk sang penari.

Di balik kekayaan budaya yang direpresentasikan ronggeng di setiap tarikan suara dan gerakan tubuhnya, kesenian ini tak dapat dipisahkan dari citra buruknya sebagai “tarian erotis” dan “prostitusi terselubung”. Stigma ini muncul sejak pendudukan Belanda di Indonesia, yang sayangnya, masih bertahan hingga saat ini. Bersama globalisasi, stigma buruk tersebut menjadi ancaman nyata bagi eksistensi ronggeng.

Sejarah ronggeng

Ronggeng berasal dari kata renggana yang dalam bahasa Sanskerta berarti perempuan pujaan. Sumber lain menyatakan bahwa ronggeng berasal dari kata rwang yang dalam bahasa Sunda berarti ruang, rongga, atau lubang yang menyimbolkan alat kelamin perempuan. 

Sejarah ronggeng dapat ditelusuri sejauh abad ke-8, di mana relief penari ronggeng ditemukan terukir di bagian Karmawibhangga Candi Borobudur. Mengutip dari borobudurpedia.id, Karmawibhangga merupakan cerita pada relief tersembunyi di dinding kaki Candi Borobudur yang menggambarkan sebab-akibat perbuatan baik dan buruk. Relief Karmawibhangga menggambarkan adegan yang mengandung informasi mengenai kebudayaan masyarakat Jawa kuno, termasuk sistem sosial, sistem kepercayaan, kesenian, arsitektur, hingga pemanfaatan alam. 

Pada masyarakat Jawa Barat, ronggeng erat kaitannya dengan kisah pembalasan dendam Dewi Samboja atas kematian kekasihnya, Raja Anggalarang. Sejak pembunuhan Raja Anggalarang, Dewi Samboja memulai perburuannya dengan menyamar sebagai rombongan ronggeng. Ia dan rombongannya kemudian membunuh komplotan Bajo saat menampilkan tarian untuk kelompok pembunuh Raja Anggalarang tersebut. 

Kisah tersebut diperkuat dengan ditemukannya Candi Pamarican di Ciamis pada tahun 1977. Kumpulan batu dan arca berbentuk gong kecil, yang dipercaya berhubungan dengan asal muasal tari ronggeng, ditemukan di sekitar candi yang dikenal masyarakat setempat sebagai Candi Ronggeng itu. 

Jenis-jenis ronggeng

  1. Ronggeng Gunung

Dari semua jenis ronggeng yang ada, tari Ronggeng Gunung termasuk jenis yang tertua. Ronggeng Gunung berkembang pesat dan menjadi populer di seluruh wilayah Jawa Barat, utamanya di kawasan pesisir selatan Ciamis dan sekitarnya. Sebutan Ronggeng Gunung diperoleh karena para penari dan pengiringnya berasal dari dataran tinggi. 

Rombongan Ronggeng Gunung akan berkeliling untuk memberikan penampilan kepada masyarakat dan kaum kolonial. Tak hanya berperan sebagai penghibur, Ronggeng Gunung juga sering diundang untuk menyemarakkan upacara adat dan ritual, seperti pesta adat panen padi. Mengutip dari tirto.id, sebelum pertunjukkan dimulai, terdapat ritual dan penyerahan sesajen berupa kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, pisang emas, sebuah cermin, sisir, dan juga rokok. 

  1. Ronggeng Bugis

Jangan salah, Ronggeng Bugis bukan berasal dari Sulawesi Selatan, melainkan Cirebon. Meskipun begitu, asal-usul namanya berkaitan dengan upaya penyamaran orang Bugis dalam Pasukan Telik Sandi yang dibentuk Sunan Gunung Jati untuk memata-matai wilayah Pajajaran. Ronggeng Bugis juga dikenal sebagai Tari Telik Sandi.

Tak seperti konsep ronggeng pada umumnya, Ronggeng Bugis memadukan unsur komedi dalam tariannya. Para penarinya terdiri dari laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan dan riasan badut. Membayangkannya memang lucu. Namun, sejarah di balik lahirnya Ronggeng Bugis yang menggambarkan kreativitas serta kesetiaan tak tertara dari Pasukan Telik Sandi tentu patut kita apresiasi. 

  1. Ronggeng Blantek

Ronggeng Blantek merupakan pengembangan dari tari pembuka dalam pertunjukan seni tradisional Topeng Blantek khas Betawi. Tarian ini diciptakan oleh Wiwiek Widiyastuti, Wara Selly, dan Joko Sukosadono atas permintaan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 1978 lalu. 

Ronggeng Blantek umumnya ditampilkan oleh 4 hingga 6 penari perempuan berpakaian cerah. Gerakan tarian ini terdiri dari tiga bagian, yaitu manis, cepat, dan klimaks. Dari gerakan yang lembut, tarian akan berubah menjadi cepat dan enerjik hingga memadukan unsur-unsur silat di akhir. Sambil menari, para ronggeng akan diiringi irama dari rebab, gendang, ancak kenong tiga pencon, kecrek, kempul gantung, serta gong tahang atau gong angkong. 

  1. Ronggeng Deli

Tak hanya di Jawa, kesenian ronggeng sama populernya di Sumatera. Menilik Hikayat Hang Tuah, seni tari ronggeng tercatat telah eksis di Melayu sejak abad ke-15 dengan istilah ‘teledek. Ronggeng Deli merupakan cikal bakal Tari Serampang Dua Belas.

Seni berbalas pantun menjadi pembeda antara Ronggeng Deli dengan Ronggeng Jawa. Dalam pertunjukan, pasangan penari akan menari dan menyanyi dengan diiringi musik khas Melayu. Setelah itu, mereka akan berbalas pantun yang umumnya berisi tentang kisah cinta, kehidupan, dan rasa syukur kepada Tuhan. Meskipun kental akan nuansa Melayu, Ronggeng Deli turut mendapat pengaruh dari Portugis dengan penggunaan akordion dan biola sebagai musik pengiring. 

Stigma negatif ronggeng

Guru Besar Institut Seni dan Budaya (ISBI) Bandung Endang Caturwati dalam unpad.ac.id menyatakan bahwa penari ronggeng di daerah Sunda pada masa lalu merupakan sosok perempuan terhormat. Seorang ronggeng berperan dalam berbagai kegiatan positif di masyarakat, termasuk menghadiri upacara ritual, menjadi penasihat masyarakat, hingga menyembuhkan penyakit. Kemuliaan kedudukan seorang ronggeng digambarkan melalui cerita pada naskah-naskah kuno, dan hingga saat ini, ronggeng masih sama mulianya dalam pandangan masyarakat Sunda. 

Citra ronggeng serta-merta jatuh saat VOC datang pada tahun 1700-an. Semata berniat menghibur para pekerja kebun, penampilan ronggeng melalui tayub dinodai dengan aktivitas mabuk-mabukan yang membuat pertunjukan menjadi tidak kondusif. Sebagai catatan, tayub atau tayuban merupakan sebuah tarian di mana penari akan mengajak penari atau penonton pria untuk menari dengan cara mengalungkan sampur (selendang) kepada mereka. Saking populernya hiburan ini di kalangan pekerja, VOC bahkan menerapkan “Pajak Ronggeng” yang dipungut dari penyelenggara hajatan ronggeng. 

Penyempitan makna pertunjukan ronggeng juga disebabkan oleh cara penonton menyawer penari; biasanya, mereka akan menyelipkan uang di dada para penari. Tak hanya itu, usai pertunjukan, tak jarang praktik prostitusi dilakukan ronggeng dengan siapa saja yang mampu membayar lebih banyak. 

Sebagaimana dirasakan oleh para pengelola sekolah kesenian di Jawa Barat, proses regenerasi dan revitalisasi ronggeng menjadi semakin sulit dengan adanya stigma ini. Mereka yang bercita-cita menjadi ronggeng terpaksa memupus harapan tersebut karena tidak mendapatkan restu dari orangtua. 

Dalam memperbaiki citra ronggeng, beberapa perubahan dilakukan untuk menyesuaikan kesenian tersebut dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Pembenahan dilakukan pada pakaian dan gerakan. Tayub ditiadakan. Pertunjukan tidak lagi diadakan sampai subuh. Seorang ronggeng tidak lagi hanya dituntut untuk cantik dan pandai menyanyi serta menari, tapi juga pandai bela diri. 

Bagaimana pun, pembenahan citra ronggeng merupakan pekerjaan rumah yang panjang bagi pegiat seni, pemerintah, juga masyarakat. Untuk mengembalikan citra ronggeng sebagai bentuk kreativitas dari sosok yang mulia, diperlukan kerja sama semua pihak dalam memupuk kesadaran tersebut dan mewujudkannya dalam langkah-langkah konkret. Upaya yang perlu dicoba dapat berupa sosialisasi kepada masyarakat melalui pembuatan film atau dokumentasi mengenai ronggeng. Selain itu, pemerintah juga patut turun tangan dengan misalnya, menghadirkan penampilan ronggeng di kegiatan formal serta mengadakan kelas ronggeng. 

Indonesia memiliki kekayaan seni budaya yang luar biasa, salah satunya adalah tari ronggeng. Penting bagi kita untuk memahami seni budaya ini, sebelum secara mentah-mentah menerima adanya stigma negatif yang mungkin ada. Sebagai bagian bangsa yang besar. Sudah semestinya bagi kita untuk menghargai dan bangga atas seni budaya tersebut.